Langsung ke konten utama

coretan



                Kadang aku merasa sangsi pada kata cinta yang sering kau kirimkan lewat pesan singkat. Alasan pertama kesangsianku adalah, aku tak dapat melihat bagaimana ekspresimu saat menulis pesan singkat itu, dan alasan keduanya adalah, kau tak pernah mengucapkannya ketika kita bertemu dan menghabiskan waktu yang tak pernah lebih dari satu jam untuk bersama. Selain sangsi aku juga sering merasa canggung pada pertemuan kita, mungkin karena perkenalan kita yang masih terlalu singkat saat akhirnya kita memvonis hati kita saling mencintai.
                Aku tak pernah menyesalinya, karena aku memang telah jauh jatuh dalam cintamu, meski terkadang aku takut hanya aku yang terlalu perasa. Namun, selagi ketakutan itu membuatku bahagia, aku akan selalu menerimanya sebagai hadiah terindah dalam hidupku.
                Aku sedang menatap lamat langit malam dan tiba-tiba bayanganmu melintas membawaku pada kenangan awal perkenalan kita, malam 20 Oktober tepatnya. Malam itu aku juga sedang menatap malam dengan seksama, berharap wajah cinta pertamaku terlukis di sana. Sampai suara notifikasi dari hp-ku membuatku terkejut dan mengalihkan perhatianku dari indahnya malam. Malam itu kau datang menggangku, juga pada malam-malam berikutnya. Tapi sekali lagi aku tak pernah menyesalimu yang datang mengganggu. Bahkan gangguanmu yang indah membuatku ingin terus diganggu.
                Malam-malam selanjutnya kita telah berani membuat kesepakatan bertemu dan bertatap muka, sehingga dari pertemuan pertama itu menimbulkan candu yang membuatku ingin membuat pertemuan-pertemuan baru. Kita seperti teman yang telah bertahun-tahun lamanya terpisah, lalu kembali bertemu. Membuat kita menyalahkan waktu saat pertemuan kita yang tak pernah lebih dari satu jam itu terasa sangat singkat dan tak mampu menutupi lubang rindu yang terlampau besar.
                Lalu pada malam pertemuan kita entah yang keberapa, aku merasa kecewa. Kau benar-benar membuatku kecewa. Kita bertemu namun saling diam. Mungkin lebih tepatnya aku yang memilih diam karna tak berani menyampaikan beberapa hal pribadi yang ingin kupertanyakan. Ya, aku tak punya keberanian, bahkan walau hanya sekedar berani bertanya hal yang tak harus kutulis di sini padamu. Namun dalam lamunku setelah pertemuan itu aku juga menyalahkanmu yang saat itu memilih hal lain yang seolah lebih menarik daripada memperhatikanku. Kaumenyibukkan dirimu dengan kesenangan di balik benda kecil bernama notebook dengan segala alamat website yang memenuhi layarnya, tersenyum sendiri tanpa memperdulikanku yang menungguuntuk kau ajak bicara dan kau hadiahi senyuman, membuatku merasa menjadi seorang pengganggu kesenanganmu.
                Aku masih bingung cinta seperti apa yang sedang kita rasakan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENEBUSAN LUKA

Agni sedang di dapur, memotong sayuran yang akan ia masak untuk makan malam. Memasak pada sore hari,   setelah menidurkan putrinya adalah satu-satunya kegiatan yang menyenangkan. Tenang, sembari menyelami dirinya sendiri, dan merenungkan peristiwa-peristiwa yang sering kali terjadi dalam keluarga kecilnya. Bagi Agni, memasak adalah waktu baginya untuk kembali merasakan dirinya sendiri. Tak jarang ia memasak sembari tersenyum geli mengingat tingkah lucu Dinar, tersipu malu mengingat malam yang panas dengan suaminya, atau menangis karena mengingat   scene  sedih dari film yang semalam ia tonton. Seperti sore ini, ia memasak sambil menangis, dari belakang terlihat punggungnya begitu keras bergetar, menahan agar tangisnya tak menimbulkan suara. Agni menangis, bukan lantaran mengingat   scene  sedih sebuah film. Ia menangis, sebab sudah tiga hari ini suaminya belum pulang, tanpa meninggalkan kabar atau semacamnya. Firasatnya buruk, sangat buruk. Bayangan suaminya yang menepis pelukannya di

Kumohon

Malam ini kuhabiskan malam mingguku dengan duduk merenung di pojok tempat tidur kosku yang sempit, sambil tertunduk kupandangi potretmu di ponselku, kian membuat hatiku terhimpit rindu. Kau dalam pose rebahan dan berbantal pada lenganmu sendiri, dengan senyum terbaik kau meluluhlantakkan hati dan perasaanku. Kenapa kau tersenyum, Kasih? Apa kau mengejekku yang dengan mudahnya jatuh cinta padamu? Apa kau menertawaiku secara diam-diam karena setiap malam kukirim kata rindu yang tak pernah kauhiraukan? Aku sungguh merindukanmu, Kasih. Apa kau tahu? Malam ini aku menangis. Menangisimu yang terus bersikap seolah tak mempedulikanku. Seolah kau sengaja menjauh dariku dengan menciptakan jarak yang sedikit demi sedikit membuatku menderita karena menahan kerinduan konyol yang tak kunjung mendapatkan jawaban. Kucium fotomu dalam-dalam lalu kubisikkan kata “Jangan pergi menjauh, karena kini aku telah datang mendekat.” Apa kau mengerti maksudnya? Kau ingat, Kasih? Dulu kau masuk dalam k

When I Miss You

Sabtu, 02 Desember 2015 19.30 Famy, gadis cantik 20 tahun itu terlihat memasuki salah satu kedai kopi paling laris di Bandung yang menjadi saksi cintanya. Saksi susah senangnya, saksi saat cintanya dimulai dan saksi pula saat cintanya berakhir kandas dengan begitu menyedihkan dua tahun yang lalu. Pahitnya kenangan berkombinasi dengan manisnya secangkir capucino selalu menjadi teman setianya mengenang cinta yang tak mungkin dapat ia harapkan lagi. Dua tahun ternyata bukan waktu yang cukup untuk dapat membuat Famy melupakan cinta pertamanya yang bahkan telah hampir terikat sebuah tali pertunangan. Kisah cinta yang telah berjalan tiga tahun lamanya harus berakhir dengan sangat menyedihkan. Oh tidak, lebih tepatnya Famy sendiri yang merasakan kesedihan itu. Nanti pasti kau sesali keputusan dirimu meninggalkan aku Lagu Fredy yang berjudul Nanti mengalun seakan menyambut kedatangan Famy di kedai kopi tersebut. Lagu yang sekali lagi mengikatnya untuk tetap mengenang kebersama