Langsung ke konten utama

PENEBUSAN LUKA

Agni sedang di dapur, memotong sayuran yang akan ia masak untuk makan malam. Memasak pada sore hari, setelah menidurkan putrinya adalah satu-satunya kegiatan yang menyenangkan. Tenang, sembari menyelami dirinya sendiri, dan merenungkan peristiwa-peristiwa yang sering kali terjadi dalam keluarga kecilnya. Bagi Agni, memasak adalah waktu baginya untuk kembali merasakan dirinya sendiri. Tak jarang ia memasak sembari tersenyum geli mengingat tingkah lucu Dinar, tersipu malu mengingat malam yang panas dengan suaminya, atau menangis karena mengingat scene sedih dari film yang semalam ia tonton. Seperti sore ini, ia memasak sambil menangis, dari belakang terlihat punggungnya begitu keras bergetar, menahan agar tangisnya tak menimbulkan suara. Agni menangis, bukan lantaran mengingat scene sedih sebuah film. Ia menangis, sebab sudah tiga hari ini suaminya belum pulang, tanpa meninggalkan kabar atau semacamnya. Firasatnya buruk, sangat buruk. Bayangan suaminya yang menepis pelukannya di malam terakhir ia berada di rumah terus muncul, bersama dengan bayangan wajah seorang perempuan. Pilu sekali.


Begitu urusan memasak telah rampung, ia bergegas mencuci wajahnya, kemudian membangunkan Dinar, memandikan lalu menyiapkan Dinar untuk makan malam.

“Ibu, apa ayah belum pulang?” tanya Dinar ketika Agni sedang mencarikan baju ganti untuk putrinya.

“Belum, Sayang. Kerjaan ayah belum selesai, jadi belum bisa pulang.”

“Tapi Dinar…”

“Ayah titip pesan sama Ibu buat Dinar. Ayah bilang, Dinar harus makan yang banyak, terus Ayah bilang, weekend kita akan makan eskrim.”

“Tapi, Bu. Dinar ga pingin eskrim, Dinar cuma pingin makan sama Ayah.”

“Iya, nanti ibu sampaikan. Tapi, hari ini makannya berdua sama ibu dulu! Ya?”

“Oke, Ibu peri.” Jawab Dinar, setelah itu dia mencium pipi Agni, sebelum keluar dengan memeluk boneka beruang, berlari ke arah ruang keluarga. Memilih buku gambar untuk diwarnai sembari menunggu ibunya mandi. Agni masih berdiri di depan meja rias kamar putrinya. Hatinya masih gelisah, mungkin sama gelisahnya dengan perasaan Dinar. Ia khawatir suaminya tak pernah kembali tanpa kalimat pamit.

Agni masih di dapur mencuci piring bekas makannya bersama Dinar, sedang putrinya yang cantik duduk di kursi tak jauh darinya, menelanjangi segala yang dilakukan ibunya dengan sangat teliti.

“Ibu, apa ibu sedang sedih?” tanyanya tiba-tiba. Agni menoleh sebentar, mencari dari mana Dinar melacak kesedihannya.

“Tentu saja tidak. Kenapa ibu harus bersedih, ada Dinar yang selalu menemani ibu. Ayah juga tak lama lagi akan pulang.” Agni memalingkan wajahnya kembali pada apa yang ia kerjakan, ia mulai sadar, Dinar mewarisi mata ayahnya yang begitu lihai dan teliti membaca segala yang berada di sekitarnya.

Tepat sebelum Dinar bertanya lagi pada ibunya, bel rumah berbunyi, disusul suara ketukan pintu. Agni paham betul siapa yang sedang menunggu di balik pintu, ia adalah lelaki yang ditunggunya tiga hari belakangan ini.

“Dinar sayang, masuk kamar dulu, ya. Kunci pintunya dari dalam, jangan keluar dulu sampai ibu mengetuk pintu. Ibu udah siapkan buku dongeng terbaru di meja belajar Dinar, tentang penyihir baik yang dibenci kerajaan.”

“Waaah, kenapa tidak bilang sejak tadi, Dinar ke kamar dulu kalau begitu. Terima kasih, Ibu peri.” Dinar berlari tak sabar menuju kamarnya. Melupakan pertanyaan mengenai kesedihan ibunya. Agni secepat yang ia bisa bergegas menuju pintu. Namun begitu tangannya menyentuh gagang, ia terdiam, menyimak suara gumaman berulang dari luar.

“Maafkan aku, Agni. Maafkan aku.” Kata itu terus berulang, suara suaminya. Agni segera membuka pintu, tak ingin suaminya menunggu lebih lama lagi.

“Mas Dian!” Agni menangkap suaminya yang menjatuhkan diri dalam pelukannya, sekuat tenaga kembali menutup pintu, lalu membawa suaminya duduk di sofa. Dian masih terus memeluknya sambil menangis mengucap maaf berulang kali, Agni menangis. Ia yakin, firasatnya kali ini tak salah, aroma alkohol menggiring pipinya yang ikut basah, ia manangis. Ia paham betul, perempuan itu telah kembali. Ia sadar betul, waktunya tak lama lagi.

Dian bangun dari tubuh Agni, turun dari sofa, berjongkok lemah di lantai, memeluk lutut istrinya.

“Ning!”

“Apa yang harus aku siapkan, Mas?” Dian menoleh, menatap mata istrinya yang begitu terluka saat melontarkan pertanyaannya barusan. Ia baru sadar, pipi istrinya telah basah. Tapi ia bahkan tak merasa punya hak menghapus air mata itu. Sebab ia sadar betul, dirinyalah alasan di balik air mata itu jatuh. Dian kembali menundukkan wajahnya, memeluk lutut Agni lebih kuat. Melihat suaminya yang tak berdaya, Agni menepuk-nepuk bahu suaminya, tangan satunya lagi ia pakai untuk mengelus kepala suaminya, ia melupakan air matanya sendiri, lalu menyanyikan kidung Kepangku Kapang untuk suaminya. Lama sekali mereka bertahan dalam posisi tersebut.

“Mas, tatap mataku sekarang! Kumohon! Kumohon, Mas! Kamu harus lihat, tidak ada luka di mataku.” Dian dengan perlahan dengan sisa-sisa kekuatannya mendongak, menatap ke dalam mata Agni. Namun Dian menggeleng, Agni bohong. Begitu Dian hendak kembali menunduk, Agni menahannya dengan kedua tangan, menopang pipi Dian.

“Jangan khawatirkan lukaku, Mas. Aku tahu betul, ini adalah yang kamu tunggu selama ini.” Belum selesai, belum selesai Agni bicara. Dian bangkit dari lantai mencium bibir Agni, penuh kasih sayang, penuh kekalutan, mencari rasa tenang. Agni tertegun, ini bukan seperti yang ia pikirkan, mengapa suaminya menyalurkan energi yang berbeda dari apa yang ia pikirkan? Saat Dian melepas bibirnya, Agni masih diam.

“Ning! Maafkan aku. Sekali lagi.”

“Apa yang sebenarnya terjadi, Mas?”

“Harus dari mana aku bercerita, Ning?”

“Kamu selalu bisa bercerita dari mana pun, seperti biasanya.”

“Aku takut, Ning. Dia ada di sini, perempuan itu bersama keluarga kecilnya ada di kota ini. Ren ada di kota ini. Aku takut. Maafkan aku.” Mendengar itu Agni tersenyum getir, bertahun pernikahan mereka tak pernah berhasil membawa suaminya beranjak dari masa lalunya, bahwa sekuat apapun ia berusaha, ia selalu hanya sampai pada menjelma payung dalam kehidupan Dian, dan ketika Dian ingin menikmati hujan, ia harus siap jika sewaktu-waktu payung itu di buang atau ditinggalkan tergeletak sembarangan. Namun kemudian yang mampu ia lakukan adalah menghapus air mata suaminya, menggenggam tangan suaminya dengan begitu kuat. Sebisa mungkin menyaring, bahwa kekuatanlah yang suaminya butuhkan, bukan rasa gusar. Ketakutan itu harus ia simpan sendiri, rapat-rapat di ruangan rahasia kedap suara dalam hatinya.

“Kamu akan menghadapinya, aku akan menemanimu. Kamu harus ingat. Aku telah berjanji selalu menemanimu, sampai waktunya tiba. Kamu selalu tahu, bahwa aku akan pergi, begitu kamu memintaku pergi.” Dian masih diam mencerna penuturan istrinya.

“Jangan khawatirkan aku, Mas. Aku punya Dinar yang begitu mewarisi wajahmu, ia akan selalu menguatkanku.” Dian masih tertegun. Ingatannya kembali pada masa-masa suram ketika ia begitu terpuruk dalam lembah gelap yang ia gali sendiri. Ia menatap mata Agni yang selalu temaram -melindunginya, menahan tubuhnya sebelum ia jatuh, memapah ketika kakinya tak kuat melangkah, menegakkan bahunya berulang kali, mengapus air matanya tanpa peduli pipinya sendiri basah, mengoles segala bentuk lukanya setiap hari tanpa peduli luka di tubuhnya sendiri. ‘Tuhan, perempuan apa yang tengah bersamanya saat ini? Apa yg sebenarnya bisa kulakukan tanpanya, Tuhan?’ Dian kembali menangis, dan Agni kembali menghapus air matanya.

“Kamu pasti belum makan dengan baik tiga hari ini. Aku sudah masakkan makanan kesukaanmu. Kamu perlu mengembalikan energi setelah minum alkohol terus menerus tiga hari ini! Setelah itu bersihkan tubuhmu, Dinar menunggu kita di kamar.” Agni kemudian menuntun Dian ke meja makan, dengan sigap memanaskan makanan, sambil menyembunyikan air matanya yg tak kunjung usai. Menunggu masakannya dihangatkan ia menyelinap ke kamar mandi, membasuh wajahnya agar hilang jejak air mata di sana. Lalu kembali keluar memaksa bibirnya tersenyum, kembali dengan cekatan menyiapkan makanan di meja makan.

Dian terus memperhatikan setiap gerak-gerik istrinya. Ia tahu betul istrinya berusaha keras menyimpan lukanya sendirian. Ia ikut tersenyum, ia tahu ia tak pernah berhak membongkar ruang rahasia kedap suara itu.

Dian kemudian menyantap masakan istrinya dalam diam, berusaha keras menahan air matanya jatuh lagi. Tapi kemudian Agni menggenggam tangan kirinya.

“Jangan dipaksa, makanlah secukupnya agar energimu kembali.” Lalu menuang air ke dalam gelas.

“Terima kasih, Ning.”

“Setelah ini biar kubantu mandi. Tunggu sebentar aku bereskan dapur dulu.” Dian tak menjawab, pernyataan itu tak perlu jawaban. Agni selalu paham dan melakukan dengan baik apapun yang menjadi kebutuhan Dian.

Setelah selesai membantu Dian membersihkan diri, kini mereka berdua telah berdiri di depan pintu kamar anaknya.

“Dinar, buka pintunya, Sayang. Lihat siapa yang datang!” terdengar suara langkah riang di dalam menuju pintu.

“Ayaaah!” serunya sembari begitu tergesa membuka pintu.

“Loh, putri ayah belum tidur? Lagi apa?”

“Aku nungguin kamu, loh, dari kemarin. Kamu kok telat banget, sih, pulangnya. Ibu sedih tau. Aku juga sedih, sih. Tapi kata ibu akhir pekan kita akan makan eskrim, jadi aku gak sedih lagi.” Agni tertawa.

“Dasar, padahal udah ibu bilang, kalau ibu ga sedih.” Mereka berjalan masuk ke kamar Dinar.

“Oke, seperti kata ibu kita akan makan eskrim, tapi bukan minggu depan. Besok! Besok kita akan makan eskrim sepuasnya. Deal, Tuan Putri?”

Deal!” begitulah malam itu berakhir. Mereka selalu kembali membangun kehangatan yang seolah-olah begitu alami, menyembunyikan kesedihan yang baru saja terjadi di ruang tamu, meski di dalam hati mereka masing-masing terdapat ruang rahasia kedap suara yang mereka jaga.

Pada mata yang masing-masing terpejam, pikiran mereka sedang berlayar pada kekalutan masing-masing, pada ketakutan akan hari esok, yang barang kali ada hal yang musti di akhiri.

Pagi-pagi sekali mereka telah bangun dan begitu sibuk dengan persiapan mereka masing-masing untuk berangkat ke kedai eskrim seperti yang telah direncakan. Pukul 10.00 pagi mereka telah siap. Dinar adalah yang paling tak sabar menantikan hari ini. Dia tersenyum dan menyanyikan semua lagu yang ia hafal sepanjang pagi, bersama ayahnya.

“Ayah, apa gak terlalu pagi makan eskrim jam segini? Masih jam sepuluh, loh.”

“Ya gapapa dong, Bu. Toh di jalan pasti macet.

Mereka berangkat dengan suasana yang bahagia, sepanjang perjalanan Dinar tak berhenti bercerita dan menanyakan segala hal, memutar lagu lalu bernyanyi bersama, tertawa dan saling bergantian mengejek Agni. Jam 11.00 mereka tiba di lokasi, toko eskrim favorit Dinar. Lokasinya berdampingan dengan lampu lalu lintas, begitu hendak membelokkan mobilnya sebelum memasuki lahan parkir, saat itulah sebuah truk dengan kecepatan tinggi menerobos rambu merah lalu lintas, tanpa kendali melaju ke arah mereka. Dalam waktu sepersekian suasana di luar mobil Dian begitu histeris, sedang di dalam mobil, suara dentuman mengambil alih, sunyi. Tawa bahagia itu terhenti seketika, tak ada suara. Agni yang berada di kursi penumpang depan, dadanya tak lagi bergerak, hantaman dari truk begitu keras membuatnya tak sempat mengucap salam perpisahan untuk dua orang tercintanya. Begitu juga dengan Dian, mobil mereka terseret truk menerjang tiang lampu lalu lintas, kacanya yang sudah pecah karena hantaman truk membuat kepalanya menabrak tiang tanpa penghalang. Nafasnya juga hilang tanpa kata perpisahan.

“Suri, bangun, Nak! Kuliahmu udah selesai ini. Cuma sisa kamu aja, loh, ini di room.”

“Hah, Bunda! Bunda, aku ketiduran lagi, ya?”

“Kamu gimana sih, Sayang. Masak kuliahnya ditinggal tidur terus! Udah, dimatiin dulu laptopnya. Kalau udah gaada mata kuliah lagi bunda tunggu di bawah, ya. Bunda masak brownis. Gak baik loh, Sayang. Tidur deket banget sama sinar radiasi. Bahaya buat kesehatan.”

“Iya, Bunda. Maaf, gak diulangi lagi.”

“Ya sudah, cuci wajahmu dulu, beresin ini kamar kamu!” begitu bundanya hendak turun dari ranjang tidur, Suri segera memeluk bundanya.

“Bunda, beberapa hari ini Suri sering mimpi orang yang sama dan kejadian yang sama. Suri mimpi ada tiga orang dalam mobil yang mengalami kecelakaan, namanya Agni, Dinar, dan Dian, satu keluarga, kecelakaan di dekat toko eskrim dekat lampu lalu lintas. Suri takut, Bunda.” Ren seketika tertegun mendengar nama-nama yang disebutkan oleh Suri, tapi sebisa mungkin ia segera menguasai diri, lalu menenangkan putrinya.

“Gapapa, Sayang. Itu cuma mimpi. Bunga tidur!” setelah memeluk putrinya agar tenang ia segera keluar dari kamar, tapi bukan menuju dapur. Ia menuju kamarnya sendiri. Membuka laci meja, dan mengambil sebuah pigura dari laci meja riasnya, pipinya basah, ia menangis.

“Aku berjanji pada kalian, aku akan membesarkan Dinar dengan baik. Semoga ini dapat menebus kesalahanku karena telah berusaha keras menemuimu, Mas. Semoga ini juga dapat menebus kesalahanku atas segala luka yang kubuat untukmu, Agni. Maafkan aku.”

InstagramFacebookTwitter

-tak pernah ada yang selesai dari sebuah kisah-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kumohon

Malam ini kuhabiskan malam mingguku dengan duduk merenung di pojok tempat tidur kosku yang sempit, sambil tertunduk kupandangi potretmu di ponselku, kian membuat hatiku terhimpit rindu. Kau dalam pose rebahan dan berbantal pada lenganmu sendiri, dengan senyum terbaik kau meluluhlantakkan hati dan perasaanku. Kenapa kau tersenyum, Kasih? Apa kau mengejekku yang dengan mudahnya jatuh cinta padamu? Apa kau menertawaiku secara diam-diam karena setiap malam kukirim kata rindu yang tak pernah kauhiraukan? Aku sungguh merindukanmu, Kasih. Apa kau tahu? Malam ini aku menangis. Menangisimu yang terus bersikap seolah tak mempedulikanku. Seolah kau sengaja menjauh dariku dengan menciptakan jarak yang sedikit demi sedikit membuatku menderita karena menahan kerinduan konyol yang tak kunjung mendapatkan jawaban. Kucium fotomu dalam-dalam lalu kubisikkan kata “Jangan pergi menjauh, karena kini aku telah datang mendekat.” Apa kau mengerti maksudnya? Kau ingat, Kasih? Dulu kau masuk dalam k

When I Miss You

Sabtu, 02 Desember 2015 19.30 Famy, gadis cantik 20 tahun itu terlihat memasuki salah satu kedai kopi paling laris di Bandung yang menjadi saksi cintanya. Saksi susah senangnya, saksi saat cintanya dimulai dan saksi pula saat cintanya berakhir kandas dengan begitu menyedihkan dua tahun yang lalu. Pahitnya kenangan berkombinasi dengan manisnya secangkir capucino selalu menjadi teman setianya mengenang cinta yang tak mungkin dapat ia harapkan lagi. Dua tahun ternyata bukan waktu yang cukup untuk dapat membuat Famy melupakan cinta pertamanya yang bahkan telah hampir terikat sebuah tali pertunangan. Kisah cinta yang telah berjalan tiga tahun lamanya harus berakhir dengan sangat menyedihkan. Oh tidak, lebih tepatnya Famy sendiri yang merasakan kesedihan itu. Nanti pasti kau sesali keputusan dirimu meninggalkan aku Lagu Fredy yang berjudul Nanti mengalun seakan menyambut kedatangan Famy di kedai kopi tersebut. Lagu yang sekali lagi mengikatnya untuk tetap mengenang kebersama