Langsung ke konten utama

When I Miss You



Sabtu, 02 Desember 2015 19.30
Famy, gadis cantik 20 tahun itu terlihat memasuki salah satu kedai kopi paling laris di Bandung yang menjadi saksi cintanya. Saksi susah senangnya, saksi saat cintanya dimulai dan saksi pula saat cintanya berakhir kandas dengan begitu menyedihkan dua tahun yang lalu. Pahitnya kenangan berkombinasi dengan manisnya secangkir capucino selalu menjadi teman setianya mengenang cinta yang tak mungkin dapat ia harapkan lagi.
Dua tahun ternyata bukan waktu yang cukup untuk dapat membuat Famy melupakan cinta pertamanya yang bahkan telah hampir terikat sebuah tali pertunangan. Kisah cinta yang telah berjalan tiga tahun lamanya harus berakhir dengan sangat menyedihkan. Oh tidak, lebih tepatnya Famy sendiri yang merasakan kesedihan itu.

Nanti pasti kau sesali
keputusan dirimu meninggalkan aku

Lagu Fredy yang berjudul Nanti mengalun seakan menyambut kedatangan Famy di kedai kopi tersebut. Lagu yang sekali lagi mengikatnya untuk tetap mengenang kebersamaannya bersama lelakinya di masa lalu.

Demi dia yang kau fikir sempurna
dan punya segalanya hingga kau pun
berpaling dan meninggalkanku
...
“Hallo, Dik. Kamu di mana sekarang? Bisa anter aku gak?” Kata Famy di balik ponselnya.
“Apa, My. Hallo Hallo. Suara kamu putus-putus. Aku lagi sibuk nihh, ada apa?” Jawab Diky di seberang membuat Famy langsung merubah mimik wajahnya.
“Oh... Yauda deh. Kalo gitu aku pergi sendiri aja. Kamu jangan lupa makan yaa walau pun lagi sibuk. Bye!”
Klik... Televon pun diputus sepihak oleh Famy. Hatinya menggerutu kesal karena sudah beberapa hari ini Diky selalu enggan menemaninya pergi. Alasannya pun sama, sibuk sibuk dan sibuk. Walaupun begitu, dia tetap berusaha percaya pada kekasihnya. Cinta membuatnya dengan mudah merubah kekesalan menjadi kasih sayang. Meluluhkan hatinya untuk tetap perhatian dan mencintai kekasihnya. Mungkin hal itulah yang membuat hubungan mereka berjalan dengan awet. Jarang sekali terjadi pertengkaran yang berarti selama mereka bersama.
Sadar dari lamunannya, Famy pun segera memasukkan ponselnya ke dalam tas cantik berwarna biru muda senada dengan celana di atas lutut yang ia kenakan sekarang kemudian setengah berlari menuruni tangga dan meraih kunci mobil yang tergeletak sembarangan di meja kamarnya.
“Ma, Famy keluar dulu bentar.” Teriaknya tanpa ingin tahu apa jawaban yang akan keluar dari mamanya.
Melajukan mobil dengan kecepatan normal ditemani lagu mellow (Fredy-Nanti) ia menuju kedai kopi favoritnya. Biasanya dia pergi ke tempat itu bersama Diky. Tapi karena kekasihnya itu saat ini sedang sibuk, maka Famy memutuskan untuk datang sendiri menghilangkan kejenuhannya.

“Kamu cantik banget hari ini.” Saat Famy baru saja membuka pintu kedai, telinganya menangkap suara yang sangat tidak asing baginya. Dia pun menggerakkan matanya memandang satu persatu meja dalam kedai. Hingga sorot matanya berhenti di satu titik dan membuatnya merah padam menahan amarah melihat kekasihnya yang beberapa menit yang lalu berkata padanya lewat televon bahwa dia sedang sibuk sekarang malah bercumbu mesra di dalam kedai kopi bersama seorang wanita yang belum pernah Famy kenal sebelumnya.
“Makasi. Kamu juga hari ini beda. Lebih ganteng.” Jawab wanita di sebelah Diky yang membuat Famy bergedik menahan mual.
“Oh iya, emang kamu yakin, pacar kamu gak curiga kalo kamu lagi pergi sama cewek lain?” Lanjut wanita itu yang ternyata telah mengetahui status Diky yang sebenarnya telah memiliki kekasih. Famy rasanya ingin segera keluar dari persembunyiannya dan memaki mereka berdua. Akan tetapi, dia bertahan ingin mendengar jawaban apa yang akan keluar dari mulut kekasih yang sangat dia percayai sebelumnya.
Dilihatnya lagi Diky sedang memegang tangan wanita itu, menatap mata wanita itu dengan mata yang berbinar penuh cinta membuat Famy bergetar hebat menahan airmatanya.
“Dengar ya Sayang, Famy itu sayang banget sama aku. Dia polos, jadi dia gak mungkin curiga sama hubungan kita.” Jawab Diky membuat Famy menutup mulutnya tak percaya dengan yang baru saja ia dengar dari mulut kekasihnya untuk wanita lain.
“Emangnya kamu gak sayang sama dia?” Tanya wanita itu seakan masih ragu terhadap jawaban Diky sebelumnya.
“Sayaaang? mana mungkin aku sayang sama cewek polos kaya Famy. Aku bertahan sama dia selama ini karena dia kaya. Aku cuman sayang sama...”
“Cukup!!!” Teriak Famy yang kini telah berdiri di samping meja Diky dan selingkuhannya. Teriakannya cukup membuat beberapa pasang mata yang juga ada di kedai menatap penuh tanya padanya.
“Famy, kamu.. Kamu sejak kapan ada di..”
“Ya. Aku sudah lama di sini dan aku sudah mendengar semua yang kamu katakan pada wanita penggoda ini.” Potong Famy penuh emosi. Matanya menatap penuh amarah.
“Famy, aku.. aku bisa jelasin...”
Plakk.. Sebuah tamparan Famy hadiahkan untuk kekasihnya yang telah tega menghancurkan hatinya.
“Tega kamu, Dik. Tiga tahun aku percaya sama kamu. Aku pikir kamu tulus sayang sama aku. Kurang apa aku sama kamu. Semua yang kamu mau aku turuti. Tega-teganya kamu selingkuh sama wanita ini. Aku bahkan gak pernah berfikir kalau kamu setega ini menghianati cinta kita. Aku emang polos, dan itu yang membuatku begitu menyayangi kamu. Ingat ya, Dik. Setelah kejadian ini kamu gak akan pernah bertemu dengan wanita yang benar-benar tulus mencintaimu setulus cintaku. Dan mulai sekarang kita PUTUS!!!” Nadanyan sedikit melembut dan tidak lagi penuh amarah akan tetapi tegas dan penuh penekanan. Setelah berkata demikian, Famy keluar dari kedai dengan diiringi tatapan penuh kasihan dari para pengunjung lainnya.
Famy terus menjalankan mobilnya tanpa tujuan, hingga akhirnya dia menghentikan mobilnya di tepi jalan. Menundukkan kepalanya, menangis mengingat kejadian beberapa menit lalu yang membuat hubungannya tiga tahun ini kandas dengan ending yang sangat menyedihkan. Mengingat lagi apa yang baru saja ia lihat, ia dengar, dan ia ucapkan. Menangis memperlihatkan pundaknya yang bergetar dengan hebat. Setelah puas ia meluapkan segala isi hatinya, ia memutuskan untuk kembali menghidupkan mesin mobilnya melaju dan melesat dengan cepat menuju rumahnya.

Mungkin sekarang kau masih berbahagia
dengan dirinya, dengan cintanya
tapi kuyakin suatu saat nanti
kaukan memohon tuk kembali
...
Sampai di rumahnya, Famy masuk ke dalam kamar. Meluapkan kembali semua beban dalam hatinya, semua yang terjadi padanya dalam sehari ini. Dipeluknya dengan erat penuh emosi boneka biru yang diberikan Diky untuknya saat mereka merayakan Anniversary kedua.
“Kenapa kamu setega ini Dik. Padahal kita udah tunangan. Kenapa kamu malah menghadirkan wanita lain dalam hubungan kita.” Famy berkata pada dirinya sendiri seolah apa yang dia katakan akan didengar dan dijawab oleh kekasihnya. Atau akan lebih tepat dikatakan mantan kekasihnya.
...
Tanpa terasa capucino yang sedari tadi menemani Famy kini telah kosong. Album masa lalunya telah terekam habis. Lagu kenangannya juga telah selesai diputar, tapi luka yang ia rasakan dua tahun ini belum menemukan penawar. Malah luka itu kian menjalan ke seluruh sarafnya saat setiap kali dirinya duduk di kedai ini.
Beginilah cinta membuat dirinya terpuruk, membuatnya menutup hati dan menarik diri dari para lelaki. Membuatnya terlalu takut untuk kembali memulai cerita cinta yang baru. Tapi ini bukan trauma, dia hanya tak ingin hatinya kembali jatuh di lubang yang sama, tak siap jika harus kembali terluka karna kebahagiaan yang terlalu dia puja-puja.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENEBUSAN LUKA

Agni sedang di dapur, memotong sayuran yang akan ia masak untuk makan malam. Memasak pada sore hari,   setelah menidurkan putrinya adalah satu-satunya kegiatan yang menyenangkan. Tenang, sembari menyelami dirinya sendiri, dan merenungkan peristiwa-peristiwa yang sering kali terjadi dalam keluarga kecilnya. Bagi Agni, memasak adalah waktu baginya untuk kembali merasakan dirinya sendiri. Tak jarang ia memasak sembari tersenyum geli mengingat tingkah lucu Dinar, tersipu malu mengingat malam yang panas dengan suaminya, atau menangis karena mengingat   scene  sedih dari film yang semalam ia tonton. Seperti sore ini, ia memasak sambil menangis, dari belakang terlihat punggungnya begitu keras bergetar, menahan agar tangisnya tak menimbulkan suara. Agni menangis, bukan lantaran mengingat   scene  sedih sebuah film. Ia menangis, sebab sudah tiga hari ini suaminya belum pulang, tanpa meninggalkan kabar atau semacamnya. Firasatnya buruk, sangat buruk. Bayangan suaminya yang menepis pelukannya di

Kumohon

Malam ini kuhabiskan malam mingguku dengan duduk merenung di pojok tempat tidur kosku yang sempit, sambil tertunduk kupandangi potretmu di ponselku, kian membuat hatiku terhimpit rindu. Kau dalam pose rebahan dan berbantal pada lenganmu sendiri, dengan senyum terbaik kau meluluhlantakkan hati dan perasaanku. Kenapa kau tersenyum, Kasih? Apa kau mengejekku yang dengan mudahnya jatuh cinta padamu? Apa kau menertawaiku secara diam-diam karena setiap malam kukirim kata rindu yang tak pernah kauhiraukan? Aku sungguh merindukanmu, Kasih. Apa kau tahu? Malam ini aku menangis. Menangisimu yang terus bersikap seolah tak mempedulikanku. Seolah kau sengaja menjauh dariku dengan menciptakan jarak yang sedikit demi sedikit membuatku menderita karena menahan kerinduan konyol yang tak kunjung mendapatkan jawaban. Kucium fotomu dalam-dalam lalu kubisikkan kata “Jangan pergi menjauh, karena kini aku telah datang mendekat.” Apa kau mengerti maksudnya? Kau ingat, Kasih? Dulu kau masuk dalam k