Sudah
sejak satu jam yang lalu aku menunggunya di sini, di stasiun kota Jember
ditemani langit senja yang kian turun ke kaki bumi. Aku masih tetap
menunggunya, di sini. Di kursi yang sama saat aku melepas kepergiannya empat tahun
lalu, di kursi yang sama saat dia mengucap janji bahwa dia akan kembali tahun
ini, dan sekarang di sinilah aku, duduk termangu menunggunya.
Sebenarnya
ini sudah sebulan lewat dari yang dia janjikan, dan aku telah sebulan penuh
setiap sore mengunjungi stasiun kereta api ini. Mungkin sudah bosan juga mereka
yang melihatku sebulan penuh ini menjadi pengunjung tetap stasiun, tapi
persetan dengan kebosanan mereka aku tak akan pernah bosan menunggunya di sini.
Meski yang ditunggu tak kunjung datang, meski senyum kupaksa keluar demi
menghibur diri. Dalam hati ingin rasanya menertawakan diri sendiri,
menertawakan perasaanku sendiri, menertawakan apa yang telah kulakukan.
Hari
telah benar-benar gelap, entah sudah berapa jam yang kulewati di sini. Saat
suara klakson panjang dari kereta yang baru saja tiba berbunyi dan membawaku
kembali ke alam sadar, seorang telah memperhatikanku dari samping tempatku
duduk. Dia berkata, “Saya perhatikan mbak sudah di sini sejak sore, ini kereta
terakhir mbak. Apa orang yang mbak tunggu belum juga datang ?”.
“Belum,
Mas. Dia belum datang, dan sebenarnya saya tau dia tak mungkin datang.”
Jawabku.
“Lalu
untuk apa mbak di sini? Bahkan sebulan ini saya perhatikan mbak selalu datang
kemari setiap menjelang sore dan pulang setelah kereta api terakhir
diberangkatkan.” Aku mengerutkan dahi mendengar jawaban orang ini, kulihat dari
ekor mataku, ternyata dia seorang petugas stasiun. Pantas dia tau aku selalu
kemari sebulan terakhir ini.
“Dia
penumpang Kereta Api Purbowangi yang berangkat dari Stasiun Gubeng Surabaya
yang seharusnya tiba di sini sebulan yang lalu. Dia baru saja pulang dari luar
negeri tempatnya kuliah, dia juga baru saja menyandang gelar S2nya, dia belum
memperlihatkan foto wisudanya dan sampai saat ini dia belum juga tiba, maka
dari itu aku menunggunya.” Jawabku dengan pandangan menerawang.
“Maaf,
tadi mbak bilang harusnya kereta dia tiba di sini sebulan yang lalu? Tanggal
berapa tepatnya ?” tanya petugas muda itu lagi.
Aku
menatapnya lama sebelum menjawab, aku tau ke mana arah pertanyaanya, “Ya, Mas.
Dia korban kecelakaan kereta api yang terjadi sebulan yang lalu, yang telah
dipastikan bahwa semua penumpangnya tak bisa diselamatkan.”
“Saya
turut berduka, Mbak. Semoga mbak tetap diberi kesabaran. Kejadian itu seudah
sebulan yang lalu mbak, lalu mbak masih menunggunya...”
“Ya,
Mas. Tapi saya sangat mengenalnya, dia bukan seorang yang mengingkari janji.
Dia pasti menepati janjinya menemui saya di sini. Itu sebabnya sampai saat ini
saya menunggunya.”
“Tapi,
Mbak. Bukankah itu...”
“Mustahil.
Memang hal itu mustahil. Tapi saya percaya cinta tak pernah mengenal dimensi,
dan dia akan datang.”
“Terkadang
harus kita sadari, bahwa ada kalanya kita harus melepas dia yang kita cintai
demi kehidupan di masa mendatang. Tidak
boleh ada kesedihan, dan tidak boleh ada penantian yang tak masuk akal. Kamu
harus melanjutkan hidupmu walau apapun yang terjadi di dalamnya, hidupmu harus
tetap dilanjutkan. Karna Tuhan tak akan pernah mengambil sesuatu dari umatnya
kecuali menggantinya dengan yang lebih baik.” Aku terperangah mendengar kalimat
yang keluar dari petugas stasiun yang sedang duduk di sampingku sedari tadi.
Bukan karna aku baru sadar kalau dia masih sangat muda, tapi karna kalimat yang
diucapkannya barusan begitu sama dengan kalimat yang terakhir kali diucapkan
seorang empat tahun lalu sebelum dia masuk ke salah satu gerbong kereta yang
akan ditumpanginya.
Aku
benar, dia datang menepati janjinya mengingatkanku untuk tak larut dalam luka
karna kepergiannya. Aku tak perduli meski dia datang dengan wujud yang lain,
dia mencintaiku. Kupeluk laki-laki di sampingku tadi dengan sangat erat,
kuharap dia belum keluar dari raga laki-laki petugas stasiun tadi dan merasakan
pelukan hangat yang menandakan perpisahan diantara kami ini.
Aku
mencintaimu!
Komentar
Posting Komentar