Langsung ke konten utama

Perempuan Tak Setia

“Terima kasih untuk kesabaranmu yang luar biasa, mendampingiku dalam 35 tahun usia pernikahan, dan 3 tahun untuk waktu saling mengenal di masa muda kita.” Bisik Ode di telinga istrinya, saat mereka sedang menikmati momen berdansa diiringi lagu klasik Lovesick Blues di ruang makan rumah mereka. Lilin di meja makan mereka tinggal setengah, lelehannya membentuk lahar yang terlihat manis sekali. Sendok garpu telah bersilang menghadap piring kosong di bawah mereka, artinya makan malam telah selesai dilakukan. Misa menjawab dengan senyum, matanya menatap hangat mata Ode, dan tangannya semakin posesif di leher suaminya. Detik berikutnya, Misa menempelkan telinga kanannya di dada Ode, menikmati detak mereka berdua yang semakin tua semakin melemah dengan tempo yang tetap sama. Misa memejamkan matanya, dia mengingat sebuah kebodohan dalam hidupnya, sebuah kejahatan yang dilakukan hatinya kepada Ode, dia menangis diam-diam malam itu.

Sepagi buta jam 2 pagi, Misa telah berisik, sebagian lampu di rumahnya telah menyala dan begitu terang di dapur. Dia menyiapkan bekal untuk suaminya, menyiapkan kue untuk dijual, menyetrika pakaian kantor Ode, memasak air panas untuk suaminya mandi, menyiram tanaman, menyapu rumah, mencuci pakaian, lalu pada jam 6 tepat, dia naik ke lantai dua, membangunkan Ode dengan sedikit sentuhan nakal, kemudian mereka akan sedikit bermesraan, memaksa Ode segera mandi dengan menggigit telinganya, lalu bergegas turun, kembali ke dapur menyiapkan kopi , dan koran yang akan dibaca suaminya sebelum berangkat ke kantor.

“Terima kasih, Sayang.” Ucap Ode setiap pagi di depan meja makan sambil merengkuh pinggang Misa dan menciumnya di bibir.

“Pagi ini ada berita tentang perselingkuhan yang dilakukan oleh CEO Perusahaan Grasindo.”

“Kau membaca koranku lagi?” Tegur Ode.

“Hanya untuk berita yang menarik, Sayang.”

“Dan berita yang menurutmu menarik selalu menjadi kode keras untukku.” Ode melirik Misa yang juga sedang meliriknya.

“Iya, Sayang. Apa kau masih perlu cemburu padaku? Aku tidak pernah main-main dengan perempuan lain, sungguh.” Ode menggenggam tangan istrinya, berusaha mentransferkan kepercayaan pada Misa bahwa dia benar-benar tidak akan pernah melihat perempuan lain dalam hidupnya.

“Terima kasih.” Misa tersenyum membalas genggaman tangan suaminya.

Setelah rutinitas sarapan pagi, selanjutnya Misa akan mengantar Ode sampai pintu depan, merapikan dasi suaminya dan terpejam menikmati hangat ketika bibir Ode mencium keningnya, lalu ia baru akan masuk lagi ke dalam rumah ketika mobil suaminya berbelok keluar dari area perumahan. Melanjutkan pekerjaan rumah serta urusan dagangannya yang belum selesai.

Ode dan Misa adalah pasangan muda, usia pernikahan mereka baru berjalan 3 tahun, dan mereka belum memiliki anak. Lebih tepatnya memilih untuk menunda. Ah, tidak. Misa lah yang sebenarnya paling ingin menunda, sebab dia merasa kurang siap membagi perannya sebagai seorang istri dan ibu. Hubungan mereka begitu hangat setiap hari. Misa selalu menikmati bagaimana kebebasan dirinya dikikis oleh Ode.

Misa membiarkan sebagian dari dirinya bergerak jauh ke arah yang berlawanan dengan apa yang ia inginkan. Dia meninggalkan panggung seninya, meninggalkan teman-temannya untuk di bawa pergi jauh oleh Ode, meninggalkan hobinya, untuk mengikuti apa yang disukai oleh Ode. Meskipun Ode tidak pernah meminta Misa melakukan itu semua secara langsung, tapi Misa paham, ketika Ode bilang bahwa ia tak suka perempuan semacam ini, maka Misa akan berusaha sebisa mungkin tidak menjadi seperti perempuan semacam itu. Hidupnya ia ubah tanpa ia sadari.

Sedangkan Ode, dia mungkin adalah tipe lelaki yang sikap dan sifatnya adalah idaman semua perempuan. Wajahnya tak pernah membosankan untuk ditatap dalam waktu yang lama, dia teman diskusi yang menarik, lelaki yang dingin tapi juga romantis, dia selalu bisa menghadapi segala situasi dengan kepala dingin, tegas, dan pekerja keras. Misa menjadi begitu terpikat dan jatuh hati sejak perkenalan mereka pertama kali. Ode mendekatinya dengan cara yang sederhana, mendiskusikan banyak hal, saling bertukar pikiran. Ode membuat Misa merasa tidak perlu lagi menatap ke arah lelaki lain.

Mereka memutuskan menikah setelah tiga tahun mereka menjalani masa saling mengenal lebih dekat, Ode dengan tegas menemui keluarga Misa, melamar Misa untuknya. Mereka menikah dengan sangat sederhana, acara resepsi hanya dihadiri oleh keluarga dan kerabat terdekat. Setelah itu, Ode membawa Misa tinggal di kota yang jauh dari kota kelahiran mereka, membeli rumah dan hidup jauh dari orang-orang yang mereka kenal. Seperti memulai sebuah babak hidup yang baru. Dan di sinilah mereka sekarang, di sebuah perumahan dekat bukit, yang tidak terlalu bising.

Lalu, di usia pernikahan mereka yang keempat, Misa mulai menunjukkan tanda-tanda ada kehidupan kecil dalam tubuhnya. Ya, dia hamil. Sesuatu yang telah lama dinantikan oleh Ode, dia pun ikut bersyukur. Pagi hari ketika Misa memberikan hasil cek kehamilannya, Ode menciumi Misa penuh kebahagiaan.

“Kau harus menjaga Ode junior, Sayang. Kau harus menjaga dirimu lebih hati-hati sekarang! Ada benihku di dalam sini.” Ode terlihat sangat bahagia, menunjuk-nunjuk dan menciumi perut Misa. Misa ikut tersenyum. Namun, untuk pertama kali, hatinya juga ikut merasa sakit. Dia merasa semakin bergerak jauh dari dirinya sendiri. Tubuhnya bukan lagi miliknya sendiri, akan ada kehidupan kecil yang siap mengobrak-abrik hidupnya, yang akan lebih banyak dan lebih pandai mencuri perhatian Ode darinya. Tapi karena dia melihat wajah Ode yang begitu bahagia mendengar kehadiran kehidupan kecil itu, maka Misa turut bahagia dan berusaha sebaik mungkin menjaganya.

Sembilan bulan kemudian, setelah menguras habis seluruh energi Misa, baik tubuh dan pikiran, kehidupan itu keluar sebagai bayi laki-laki, ia menangis sangat keras sambil memejamkan matanya, Misa tersenyum lega, menatap haru wajah bayi laki-lakinya yang begitu tenang. Ketenangan itu kemudian menyentuh hatinya, ia menangis, tanpa tahu apa yang sedang ia tangisi. Ia hanya merasa sangat ingin memeluk bayi itu. Misa lupa bahwa setelah itu, dia harus menyiapkan energi yang lebih besar lagi untuk anak mereka.

Benar saja, bayi yang diberi nama Banyu oleh ayahnya itu setiap harinya semakin menguras tenaga Misa, dan mencuri perhatian Ode terlalu banyak. Misa semakin tak punya waktu untuk dirinya sendiri. Juga semakin sedikit untuk dapat menikmati waktu berdua saja bersama Ode. Seluruh perhatian tercurah hanya pada Banyu. Membuat Misa semakin sesak dan merasa seperti akan meledak. Dia kewalahan terhadap dirinya sendiri. Harus menjaga kebutuhan Ode supaya tetap sama seperti sebelum adanya Banyu, serta mengurus Banyu dengan baik seperti yang diinginkan Ode. Sudah tidak ada lagi waktu untuk memikirkan dirinya sendiri, dia hanya mau Ode melihatnya tetap sebagai perempuan terbaik.

Ode tidak pernah tahu, hal-hal berat yang dilalui istrinya. Dia hanya melihat bahwa Misa baik-baik saja dan terlihat bahagia mengurus anak dan keluarganya. Bahkan ketika Misa berkata akan berhenti dari bisnis kue yang ia jalani, Ode melihat itu sebagai bentuk ketulusan dan keinginannya untuk totalitas menjaga anak mereka. Ode selalu bahagia dan semakin jatuh cinta melihat sikap istrinya yang demikian. Dia tidak pernah sadar telah mengikis sebagian besar prinsip hidup Misa supaya ikut dalam prinsip hidupnya. Dia tak pernah lagi melihat lebih dalam ke mata Misa, bahwa telah tercipta luka teramat dalam di hati istrinya, yang ia buat dengan tidak sengaja. 

Misa masih selalu memperlihatkan bahwa ia sangat baik-baik saja, sebuah visual pertahanan yang rapih. Sampai di usia Banyu yang ketujuh tahun, saat Banyu memulai sekolahnya di Sekolah Dasar, Misa bertemu dengan seorang Psikiater bernama Merlin, yang juga sedang menjaga anaknya. Dari situlah, kemudian mereka berteman, setiap menunggu jam istirahat, mereka berbincang-bincang seputar anak-anak. Merlin sedikit demi sedikit memberi masukan bagaimana menangani anak-anak di usia dini, tentu saja dengan sudut pandangnya sebagai seorang Psikiater. Misa begitu tertarik, dia kemudian mulai membuka mengenai perasaannya dalam mengurus keluarga kepada Merlin. Sesuatu yang tidak pernah ia buka pada siapapun.

Merlin yang sebagai seorang Psikiater, kadang-kadang memberi saran yang menurutnya baik, dan kemudian diterima oleh Misa. Misa mulai kembali mendapat kepercayaan-dirinya, dia mulai melakukan lagi hal-hal yang dia inginkan, tanpa sepengetahuan suaminya. Dia mulai kembali membaca buku-bukunya yang lama, dia mulai mendaftar menjadi anggota sebuah sanggar tari, membuka kembali bisnisnya, dan beberapa yang sudah cukup lama dia tinggalkan. Tentu saja, tanpa meninggalkan tanggung jawabnya sebagai seorang istri dan seorang ibu.

Suatu ketika, sanggarnya mengadakan acara besar, yang menuntutnya harus berlatih lebih ekstra, dan menguras banyak waktunya. Sebuah sistem yang awalnya baik-baik saja mulai bermasalah. Dia sering terlambat bangun sehingga terlambat menyiapkan sarapan dan terlambat melakukan rutinitas paginya yang lain. Pada awalnya Ode melihat itu sebagai sebuah pemakluman, karena sejauh ini Misa tak pernah melakukan kesalahan sedikit pun, jadi Ode pikir mungkin Misa benar-benar kelelahan. Akan tetapi, ketika sebuah hal yang dimaklumi itu terjadi berulang-ulang, Ode mulai menaruh curiga, apa yang sebenarnya terjadi pada istrinya. Sekali waktu Ode memergoki istrinya pulang larut, diantar sebuah mobil asing. Ode lalu sengaja menunggunya di balik pintu.

“Siapa yang mengantarmu, Sayang?”

“Itu Merlin, partner bisnisku, bukankah aku sudah pernah cerita? Kami sedang menyiapkan produk baru, dan akan membuka cabang. Sebab itu aku baru pulang.”

“Aku belum bertanya kenapa kau baru pulang.”

“Aku tau kau pasti akan tanya, jadi kukatakan lebih awal. Apakah kalian sudah makan malam?”

“Tentu saja.”

“Ah. Syukurlah. Aku sangat lelah.”

“Benarkah kau sangat lelah, Sayang? Aku sedang sangat menginginkanmu.” Ode mencoba merayu istrinya, untuk menguji apakah benar apa yang ada dalam pikirannya.

“Tapi aku lelah sekali Ode. Apa kau tidak bisa memaklumiku sekali ini saja?” tolak Misa dengan sangat halus, matanya mencoba menatap Ode sedalam mungkin, mencari sebuah pemakluman di dalamnya.

“Bisakah kita melakukannya besok pagi saja?” tawarnya lagi mencoba meyakinkan Ode.

“Baiklah, apapun untukmu.” Jawab Ode melepas pelukannya lalu berjalan ke kamar mereka. Misa bernapas lega lalu menyusul Ode ke kamar, ia kemudian segera membersihkan diri lalu mengistirahatkan tubuhnya. Namun sial, lagi-lagi dia bangun kesiangan. Akan tetapi, ada yang berbeda, rumahnya sangat sepi ketika ia bangun, dan Ode sudah tidak ada di sampingnya, ia segera melihat jam, matanya membulat, jam 9 pagi. Itu tandanya Ode telah berada di kantor dan Banyu telah berada di sekolah, seharusnya. Misa segera beranjak dari kasur, berlari terburu-buru ke arah dapur.


Aku telah melakukan semua tugasmu pagi ini, Ghalio telah kuantar ke sekolah. Jika kau akan pergi, jangan lupa sarapan, aku sudah membuat sarapan juga untukmu.

Suamimu.



 

 Misa terduduk lemas memegang catatan itu, hatinya ngilu. Ia takut mengecewakan Ode. Maka hari itu juga ia mengajak Marlin bertemu dan berkonsultasi.

“Tidak apa, Sa. Kalian akan baik-baik saja dengan hal semacam itu. Cobalah tunggu suamimu pulang nanti. Lihat sikapnya padamu, baru kau pikirkan dan tentukan apa langkah yang akan kau ambil. Jangan memikirkan sesuatu yang belum tentu itu yang akan terjadi. Selain itu, cobalah untuk memikirkan solusi dariku tempo hari untuk membuka komunikasi tentang perasaan kalian dengan lebih terbuka. Ah, ya. Apa kau sudah memberi tahu suamimu?”

“Belum, aku berencana memberi tahu ketika memberikan tiket pagelarannya.”

“Baiklah, tapi ingat. Kau harus siap pada konsekuensinya.”

“Terima kasih banyak, Merlin.”

Lalu Misa seperti sengaja membawa hari itu kembali seperti sebelumnya, dia mengambil ijin untuk tidak mengikuti latihan, melakukan semua pekerjaan rumah dengan baik, sambil menunggu suaminya pulang sebelum jam makan malam. Hal itu menjadi semakin menarik perhatian Ode, dan mempertajam bau sesuatu yang mencurigakan. Ode semakin gelisah, ia takut istrinya melakukan sesuatu yang akan melukainya. Maka ia menanyakannya sebelum mereka tidur.

“Apa ada yang ingin kau jelaskan padaku, Misa?” tanya Ode sembari menatap mata Misa dan memindahkan anak rambut di kening Misa ke balik telinga istrinya.

“Apa kau marah karena tadi pagi aku bangun terlambat dan membuatmu harus mengerjakan pekerjaan rumah?”

“Kenapa kau balik bertanya, Sayang? Apa kau menyembunyikan sesuatu dariku? Kau tahu kan, aku tidak mungkin mengeluh karena harus melakukan tugasmu.” Ode mengalihkan wajahnya pada selimut yang menutupi tubuh mereka.

“Aku merindukanmu, Ode.”

“Kita bertemu setiap hari, Sayang. Apa kau sedang membual sekarang?”

“Ya, kita bertemu setiap hari. Tapi, tidak setiap hari kau bertanya apakah aku baik-baik saja. Kau hanya memujiku setiap hari, Ode. Aku merindukan perhatianmu untukku saja.” Misa menunduk lebih dalam menyembunyikan wajhnya, ia takut, ia tak ingin melihat wajah kekecewaan Ode.

“Hei, ada apa? Kenapa kau tiba-tiba begini? Apa yang salah dari rumah tangga kita, Sayang? Bukankah semua berjalan baik-baik saja?” Ode menarik wajah Misa untuk menatapnya.

“Sudahlah! Daripada bertanya, mungkin ada baiknya kau ingat lagi, perempuan seperti apa aku ketika kau pertama kali mengenalku, dan perempuan seperti apa aku saat ini, saat menjadi seorang istri.” Setelah menjawab demikian, Misa menarik selimut, berpura-pura tidur memunggungi suaminya. Ia menangis diam-diam, tanpa isakan, tanpa suara.

Ode yang mendapat jawaban demikian dari istrinya yang selama ini ia lihat sebagai istri yang tak pernah mengeluh dan selalu mengikuti apa yang menjadi keputusannya, begitu kaget. Mulutnya bungkam seketika, pikirannya melayang entah kemana. Dalam hatinya tiba-tiba bimbang, takut dan gelisah. Apa yang telah ia perbuat pada istrinya? Sudahkah perempuan yang ia jemput dari rumah orang tuanya dengan janji bahagia ini ia buat benar-benar bahagia? Ode terus merenungkan segalanya sejak malam itu, dan juga malam-malam selanjutnya. Sedang di sisi lain, setelah malam itu Misa benar-benar kembali menjadi sosok istri sempurna yang diingikan Oge

Pada hari di mana ia harus pergi ke tempat sanggarnya untuk latihan menari yang terakhir, sekaligus mundur dari tim pagelaran. Dia datang hanya untuk menari meluapkan isi hatinya, dia menari seolah-olah ia tak akan pernah menari lagi. Sampai tubuhnya lemah dan bergetar hebat. Setelah itu, saat tubuhnya telah mencapai batas lelahnya menari, ia menumpang beristirahat di sanggar, dan pulang sebelum jam makan malam, sampai di rumah ia menyiapkan makan malam untuk keluarganya, memasak masakan kesukaan Ode dan Banyu, menyalakan lilin, memakai pakaian terbaik dan memoles wajahnya, Banyu juga ia siapkan dengan pakaian terbaik. Lalu mereka berdua menunggu Ode di meja makan. Ode begitu kaget ketika sampai di rumah. Istri dan anaknya sedang tersenyum hangat menyambutnya di meja makan.

“Ada acara apa ini?”

“Mama bilang kita akan dinner romantis malam ini, Pa.”

“Ada apa?”

“Makanlah, aku telah memasak makanan favorit kalian.”

Mereka kemudian makan dengan cukup tenang, meski dalam hati Ode terus bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi atau sedang disiapkan oleh istrinya. Apakah istrinya akan pergi meninggalkannya dan Banyu? Ah, sungguh. Ode tidak siap jika itu yang harus terjadi. Ode sangat mencintai istrinya. Selama ini dia sangat bergantung pada istrinya. Apakah salah kehidupan rumah tangga semacam itu? Saat ia dengan sangat percaya menggantungkan segalanya pada Misa, istri yang  sangat ia banggakan.

“Tenanglah, aku tidak akan pernah pergi meninggalkan kalian.” Tiba-tiba tangan Misa telah menggenggam tangannya dengan erat, sambil tersenyum hangat.

“Apakah ini yang disebut dinner romantis, Ma?”

“Iya, Sayang. Nah, setelah makan segeralah kembali ke kamar! Ganti bajumu, kerjakan PRmu, lalu mama akan menyusul untuk membacakan dongeng.”

“Oke, Bos!”

“Anak pintar.” Setelah berkata demikian, Banyu segera kembali ke kamarnya. Misa segera membereskan meja makan. Namun ketika sedang mencuci piring, Ode memluknya dari belakang.

“Bisakah aku ikut ke kamar Banyu untuk menemanimu membacakan dongeng?” Tanya Ode sembari mencium ceruk leher istrinya.

“Tentu saja, kau ayahnya. Tapi apa kau tidak lelah? Kau bekerja seharian.” Misa membalikkan tubuhnya dan memeluk Ode.

“Maafkan aku, Sayang. Maafkan aku. Butuh 15 Tahun untuk aku menyadari betapa istriku telah berubah menjadi perempuan idamanku. Dia telah seratus persen mengubah hidupnya menjadi seperti perempuan yang aku mau, bukan lagi perempuan yang membuatku tertarik ketika pertama kali bertemu. Maafkan aku. Aku begitu egois hanya melihat diriku sendiri. Selama ini aku tak melihat matamu lebih dalam. Maafkan aku membiarkanmu terluka dan mengobatinya sendiri. Sedang aku selalu merengek padamu untuk sekadar luka kecil.” Ode menangis, lututnya telah menopang di lantai, wajah dan isak tangisnya ia sembunyikan dalam pelukannya di perut Misa, ia kini tak beda jauh dengan Banyu ketika merengek meminta dibelikan sepeda.

“Sudahlah, sekarang ini aku cukup bahagia, memiliki kehidupan seperti yang kau berikan saat ini untukku, memiliki suami setampan dirimu, dan seorang anak seperti Banyu. Aku tidak butuh apa-apa lagi, sungguh.” Misa ikut menangis. Menangisi pilihannya sekali lagi. Menangisinya untuk yang terakhir kali. Setelah ini ia berjanji tidak akan menyesalinya lagi.

“Oh, ya Tuhan. Apa saja kesulitan yang kau lalui selama ini, Sayang.” Ode lalu melumat bibir istrinya. Kalimat terakhirnya tadi adalah sebuah pernyataan, bukan pertanyaan. Dia benar-benar menyesali keegoisannya.

Musik berhenti berputar untuk berganti pada lagu selanjutnya. Mereka masih pada posisi semula, berdansa dan berpelukan.

“Kau tau, Sayang. Kenapa aku selalu memintamu berdansa setiap tahun di hari pernikahan kita?” tanya Ode.

“Tidak, aku tidak peduli kenapa karena aku hanya menikmatinya. Tapi karena malam ini kau bertanya, aku jadi penasaran.”

Karena 20 tahun yang lalu, saat Banyu masih kecil dan kita masih muda. Aku pernah menerima undangan sebuah pagelaran tari yang…” belum selesai Ode dengan kalimatnya, Misa menarik tubuhnya dari pelukan suaminya, menatap mata Ode dalam-dalam.

“Bagaimana bisa?”

“Tidak, Sayang. Aku tidak marah padamu. Aku marah pada diriku sendiri, kenapa saat itu, bahkan sampai saat ini aku begitu egois. Aku baru berani mengatakan ini padamu. Aku terlalu takut ketika kau kembali ke dunia itu, kau akan meninggalkanku dan Banyu. Aku, … maafkan aku, Misa.” Ode menyelesaikan kalimatnya dengan suara bergetar.

“Tak apa. Semua itu adalah masa lalu. Aku tidak pernah menyesali apapun yang telah kupilih dalam hidupku, yang di dalamnya melibatkan dirimu. Berhentilah menangis, kau sudah tua.” Mereka lalu saling melempar senyum dan berciuman.


_selesai_

Jember, Oktober 2019.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENEBUSAN LUKA

Agni sedang di dapur, memotong sayuran yang akan ia masak untuk makan malam. Memasak pada sore hari,   setelah menidurkan putrinya adalah satu-satunya kegiatan yang menyenangkan. Tenang, sembari menyelami dirinya sendiri, dan merenungkan peristiwa-peristiwa yang sering kali terjadi dalam keluarga kecilnya. Bagi Agni, memasak adalah waktu baginya untuk kembali merasakan dirinya sendiri. Tak jarang ia memasak sembari tersenyum geli mengingat tingkah lucu Dinar, tersipu malu mengingat malam yang panas dengan suaminya, atau menangis karena mengingat   scene  sedih dari film yang semalam ia tonton. Seperti sore ini, ia memasak sambil menangis, dari belakang terlihat punggungnya begitu keras bergetar, menahan agar tangisnya tak menimbulkan suara. Agni menangis, bukan lantaran mengingat   scene  sedih sebuah film. Ia menangis, sebab sudah tiga hari ini suaminya belum pulang, tanpa meninggalkan kabar atau semacamnya. Firasatnya buruk, sangat buruk. Bayangan suaminya yang menepis pelukannya di

Kumohon

Malam ini kuhabiskan malam mingguku dengan duduk merenung di pojok tempat tidur kosku yang sempit, sambil tertunduk kupandangi potretmu di ponselku, kian membuat hatiku terhimpit rindu. Kau dalam pose rebahan dan berbantal pada lenganmu sendiri, dengan senyum terbaik kau meluluhlantakkan hati dan perasaanku. Kenapa kau tersenyum, Kasih? Apa kau mengejekku yang dengan mudahnya jatuh cinta padamu? Apa kau menertawaiku secara diam-diam karena setiap malam kukirim kata rindu yang tak pernah kauhiraukan? Aku sungguh merindukanmu, Kasih. Apa kau tahu? Malam ini aku menangis. Menangisimu yang terus bersikap seolah tak mempedulikanku. Seolah kau sengaja menjauh dariku dengan menciptakan jarak yang sedikit demi sedikit membuatku menderita karena menahan kerinduan konyol yang tak kunjung mendapatkan jawaban. Kucium fotomu dalam-dalam lalu kubisikkan kata “Jangan pergi menjauh, karena kini aku telah datang mendekat.” Apa kau mengerti maksudnya? Kau ingat, Kasih? Dulu kau masuk dalam k

When I Miss You

Sabtu, 02 Desember 2015 19.30 Famy, gadis cantik 20 tahun itu terlihat memasuki salah satu kedai kopi paling laris di Bandung yang menjadi saksi cintanya. Saksi susah senangnya, saksi saat cintanya dimulai dan saksi pula saat cintanya berakhir kandas dengan begitu menyedihkan dua tahun yang lalu. Pahitnya kenangan berkombinasi dengan manisnya secangkir capucino selalu menjadi teman setianya mengenang cinta yang tak mungkin dapat ia harapkan lagi. Dua tahun ternyata bukan waktu yang cukup untuk dapat membuat Famy melupakan cinta pertamanya yang bahkan telah hampir terikat sebuah tali pertunangan. Kisah cinta yang telah berjalan tiga tahun lamanya harus berakhir dengan sangat menyedihkan. Oh tidak, lebih tepatnya Famy sendiri yang merasakan kesedihan itu. Nanti pasti kau sesali keputusan dirimu meninggalkan aku Lagu Fredy yang berjudul Nanti mengalun seakan menyambut kedatangan Famy di kedai kopi tersebut. Lagu yang sekali lagi mengikatnya untuk tetap mengenang kebersama