Langsung ke konten utama

Mama, Aku Rindu !!!



Bel tanda masuk telah dibunyikan sejak sepuluh menityang lalu. Seluruh siswa SMA Tunas Jaya telah masuk ke dalam kelas masing-masing. Seluruh penjuru sekolah sudah sepi sejak bel tanda masuk itu dibunyikan. Akan tetapi, lima menit kemudian terlihat seorang siswi dengan kacamata bulat yang menutupi matanya dan setumpuk buku di tangan kanannya berjalan dengan kepala tertunduk dan langkah yang semakin lama semakin cepat sehingga terkesan sedikit berlari.
Langkah seribunya baru berhenti ketika gadis itu sampai di depan pintu ruang kelas bercat coklat kusam yang di atasnya bertuliskan *XII IPA3*. Tumpukan bukunya ia pindah ke tangan kiridan tangan kanannya sedikit ia angkat untuk mengetuk pintu tua di hadapannya.
“Maaf, Pak. Saya terlambat.” Kata gadis itu ketika dirinya berada di dalam ruang kelas.
“Hmmmmmm. Ya memang kamu terlambat. Kalau saya hitung, sudah dua minggu ini kamu sering terlambat. Apa alasan kamu, Rindu ?” Pak Sanjaya lantas sedikit menginterogasi gadis itu. –Rindu- Ya!! Gadis itu barnama Rindu, gadis berpenampilan lugu dengan setumpuk buku yang tak pernah lepas dari pelukannya, dengan kacamata bulat yang selalu setia bertengger di depan matanya. Rindu Dwi Wulandari yang setiap tahun namanya selalu terpanggil sebagai juara paralel. Rindu anak kedua dari ibu Ratna dan pak Johan. Rindu yang ayah dan kakaknya meninggal dunia karena kecelakaan ketika akan menyusul mamanya ke rumah sakit yang sedang dalam proses persalinan ketika Rindu dilahirkan. Rindu yang selalu tertutup pada siapapun. Rindu yang irit bicara, dan Rindu yang selalu menjadi kebanggaan guru.
“Anu, Pak, saya,,, saya,,,”
“Kelamaan, Rindu. Bapak mau memulai pelajaran. Duduklah!”
“Baik, Pak.” Baru saja dua langkah Rindu hendak menuju bangkunya, langkahnya ditahan lagi oleh pak Sanjaya.
“Rindu!”
“Iya, Pak?”
“Jangan sering terlambat lagi, ya! Jangan sampai prestasi bagus kamu tertutup oleh prestasi terlambat kamu yang sudah dua minggu berturut-turut ini!”
“Akan saya usahakan, Pak.”
“Hmm, duduklah!” Rindu pun segera duduk dan mengeluarkan buku Bahasa indonesia miliknya. Pak Sanjaya memulai pelajarannya, dengan seksama Rindu memperhatikan setiap yang diajarkan oleh pak Sanjaya.
15 menit lagi pelajaran pak Sanjaya akan berakhir. Seperti biasa pak Sanjaya memberikan tugas kepada murid-muridnya untuk dikumpulkan pada pertemuan yang akan datang.
“Anak-anak, seperti biasabapak akan memberi kalian tugas untuk satu minggu kedepan, tugas yang bapak berikan kali ini berhubungan dengan lomba Tulisan Remaja yang dilaksanak oleh Menteri Pedidikan Jakarta. Bapak minta, kalian mendiskripsikan tentang Ayah. Satu karya terbaik akan bapak ikut sertakan dalam lomba tersebut. Mengerti ?”
“Baiklah, selamat berkarya. Bapak akhiri, selamat siang.”
“Selamat siang, pak!”
...
Plakkkkkkk....
“Darimana saja kamu jam segini baru pulang?! Dasar anak gak tau diri!”
“Rindu baru aja dari ngerjain tugas, Ma. Laptop Rindu kan udah mama rampas.”
“Jangan banyak alasan kamu. Jangan kamu pikir dengan airmata kamu itu saya akan merasa kasihan sama kamu.”
“Kenapa, Ma? Kenapa mama gak pernah percaya sama Rindu? Kenapa mama selalu kasar sama Rindu? Rindu salah apa sama mama?” Airmata itu mengalir dari balik bingkai kacamatanya.
Plakkkkkkkkk sekali lagi tamparan mendarat di pipi mulus Rindu.
“Berani ngelawan saya kamu sekarang. Cepat masuk kamat sekarang! Cepat!!” Rindu segera berlari menuju kamarnya, emosinya tak terkontrol saat ini. Diambilnya sebuah amplop berwarna coklat dengan KOP menunjukkan nama sebuah Rumah Sakit di Jakarta. Dibuka amplop itu secara perlahan, sebenarnya Rindu sudah membaca isi surat itu. Akan tetapi, seakan tak dapat menerima kenyataan Rindu selalu membaca surat itu berulang-ulang.
...
Hari terus berganti, pagi menjadi malam dan malam pun telah menjadi pagi, Senin telah menjadi Minggu, Januari telah menjadi Februari, Februari pun telah menjadi Maret. Pada bulan inilah seluruh kelas XII SMA di seluruh Indonesia bersiap-siap berjuang menjelang UN yang akan diselenggarakan satu bulan lagi.
Seperti pagi ini, Rindu telah berada di depan pintu kelasnya sambil menatap balok kayu yang bertuliskan *XII Ipa3*
“Satu bulan lagi UN, itu berarti waktuku menurut dokter tinggal dua bulan lagi. Aku harus kasih yang terbaik buat mama, aku gak mau bikin mama selalu kecewa.” Gumamnya.
... 21 Mei 2009.
Dua bulan telah berlalu. Ujian Nasional telah ditempuh oleh seluruh sekolah di Indonesia satu bulan yang lalu. Hari ini, seluruh siswa dan siswi SMA Tunas Jaya tengah berkumpul di aula kebanggaan beserta wali murid untuk mendengar bersama pengumuman kelulusan siswa-siswi SMA Tunas Jaya. Hari ini hasil perjuangan mereka selama tiga tahun akan dibacakan.
Serangkaian acara telah dilalui sampai pada saat sebelum pemanggilan nama murid dengan nilai Ujian Nasional tertinngi, tiba-tiba seorang karyawan staff lari terburu-buru ke atas panggung menemui Kepala Sekolah mengabarkan bahwa ada salah satu siswi kelas XII yang ditemukan telah meninggal dunia di kamar mandi. Semuayang ada di Aula terlonjak kaget dan segara berduyun-duyun mendatangi TKP.
Sampai di sana semua kembali terperangah tak percaya setelah tahu bahwa Rindu ditemukan tak bernyawa dengan mulut penuh busa dan seluruh kulitnya berwarna kuning dengan selembar kertas di tangannya bertuliskan Mama, Aku Rindu! Seketika semua yang ada di sana menangis histeris karena tak tega melihat kondisi jenazah teman seperjuangan mereka. Ibu Rtna hanya mematung, ada airmata yang mengalir di pipinya yang mulai mengaluarkan tanda penuaan. Ini adalah airmata pertamanya untuk Rindu.
“Maafin mama, Rindu. Kamu anak mama satu-satunya, nak. Jangan tinggalin mama. Mama gak punya siapa-siapa lagi, sayang!” Tak kuasa Ia pun memeluk jenazah anak semata wayangnya.
...
Pemakaman Rindu telah selesai dilaksanakan, semua yang hadir melantunkan doa dan tangisan pecah sebagai salam perpisahan mengantarkan Rindu ke peristirahatan terakhirnya. Ibu Ratna memeluk erat nisan Rindu, penyesalan besar melanda hati dan perasaanya.
Semua sudah pulang sejak beberapa menit yang lalu, kini hanya bersisah pak Sanjaya dan Kepala Sekolah yang datang membawa Tropi, Piagam Juara Satu, Piala dan Sebuah karya yang terbinmgkai rapi untuk diberikan kepada bu Ratna.
“Bu Ratna, sebelumnya kami dari pihak sekolah mengucapkan turut berduka cita atas meninggalnya almarhumah Rindu Dwi Wulandari. Yang ibu perlu ketahui, maksud dan tujuan kami datang ke sini untuk memberikan ini, Bu. Tropi ini dari Menteri Pendidikan Jakarta karena Rindu memenangkan lomba Tulisan Remaja yang diadakan oleh Menteri Pendidikan Jakarta beberapa bulan yang lalu, ini naskahnya. Kemudian, ini piala dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono karena Rindu merupakan juara 1 nilain Ujian Nasional tertinggi se Indonesia. Sekali lagi kami atas nama sekolah begitu bangga dengan prestasi yang dicapai oleh Rindu.”
“Terima kasih pak.” Jawab bu Ratna dengan mata berkaca-kaca tak kuasa menahan kesedihannya. Penyesalan besar karena telah membeci anak yang membuatnya begitu disegani oleh orang lain karna prestasi yang luar biasa gemilang.
“Ibu yang sabar ya, pasti akan ada hikmah di balik semua ini. Kami mohon pamit ya, B. Assalamu’alaikum.”
Seperginya pak Sanjaya dan Kepala Sekolah, Bu Ratna masuk ke dalam kamar Rindu. Bu Ratna duduk di pojok kasur anaknya hendak membaca hasil karya yang dibuat oleh anaknya tercinta.



A.Y.A.H
AYAH
Empat huruf yang membuatnya terbentuk menjadi kata indah yang dikenal oleh sebagian orang yang mengenalnya. Namun bagiku, siapa AYAH? Aku tak mengenalinya. Aku tak pernah tahu bagaimana bentuk matanya, hidungnya, alisnya, telinganya, bibirnya, mulutnya. Aku juga tak pernah tahu seperti apa warna kulitnya, aku tak pernah tahu sekasar apa tangannya, dan aku pun tak pernah tahu setegap apa tubuhnya. Aku tak kenal siapa AYAH.
AYAH
Aku hanya mengerti kasih sayangnya lewat lelaki paruh baya yang menggendong anak kecilnya, aku hanya mengerti belaian tangannya dari lelaki paruh baya yang mengusap lembut rambut anak perempuannya, aku hanya mengerti cintanya dari lelaki paruh baya yang memeluk anaknya yang sedang sakit. Apakah ayah itu lelaki paruh baya? Aku tak tahu.
AYAH.
Ketika pada kesempatan lain aku melihat lelaki paruh baya tertangkap polisi karna mencuri. Ketika pada kesempatan lain aku mendengan berita lelaki paruh baya tertangkap polisi karna membunuh anak istrinya. Ketika pada kesempatan lain aku memergoki lelaki paruh baya tertidur di trotoar karena mabuk. Diakah AYAH? Aku juga tak tahu.
Yang aku tahu hanya MAMA
Aku dilahirkan dari rahim seorang MAMA. Aku dibesarkan oleh MAMA, makan dan minum karena ada MAMA, tidur nyenyak di atas kesur empuk karena MAMA dan aku bisa sekolah karena MAMA.
Yang aku tahu hanya MAMA
MAMA yang sayang padaku, MAMA yang mencintaiku, MAMA yang menjagaku, MAMA yang membesarkanku dan
MAMA YANG AKU RINDUKAN

I LOVE YOU MAMA



 






Bu Ratna tak kuasa lagi menahan tangisnya. Dipeluknya karya tulis itu dengan penuh kasih sayang, pelukan yang belum pernah dirasakan oleh Rindu seumur hidupnya. Bu Ratna terus menangis sambil melihat setiap inci isi kamar almarhumah anaknya, hingga pandangannya terhenti pada satu titik pada sebuah amplop coklat. Bu Ratna menghampiri meja belajar Rindu dan secara perlahan membuka isi amplop coklat itu. Dibacanya hasil pemeriksaan laboratorium itu dengan seksama. Bola mata bu Ratna terhenti pada satu kalimat. Dengan saudari Rindu Dwi Lestari dinyatakan mengidap penyakit icterus stadium tiga.
“Nggak. Gak mungkin anakku mengidap penyakit mematikan ini. Gak mungkiiiiiinn!!!” bu Ratna menangis histeris.
Yah, Penyakit kuning atau yang dalam bahasa ilmiah disebut dengan icterus atau jaundice adalah penyakit yang disebabkan oleh adanya perubahan pada warna kulit, sclera (bagian putih pada mata) dan juga kelenjar ludah yang disebabkan oleh meningkatnya bilirubin pada tubuh manusia. Jika kadar bilirubin dalam tubuh melebihi kapasitas normal maka bilirubin akan memecah dan bercampur dengan darah kemudian akan mempebgaruhi perubahan pada warna kulit dan mata menjadi kekuningan. Penyakit inilah yang pada akhirnya mengantarkan Rindu untuk lebih mengenal ayah dan kakaknya. Penyakit yang menjauhkannya dari mama yang selama hidupnya dia rindukan. Penyakit yang mengantarkan Rindu bertemu dengan Sang Pencipta.

Komentar

  1. aku terharu pita :)
    cerpennya bagus kok, cuma perlu diperbaiki pada bagian latarnya. pada bagian " Pemakaman Rindu telah selesai dilaksanakan, semua yang hadir melantunkan doa dan tangisan pecah sebagai salam perpisahan mengantarkan Rindu ke peristirahatan terakhirnya. Ibu Ratna memeluk erat nisan Rindu, penyesalan besar melanda hati dan perasaanya.
    Semua sudah pulang sejak beberapa menit yang lalu, kini hanya bersisah pak Sanjaya dan Kepala Sekolah yang datang membawa Tropi, Piagam Juara Satu, Piala dan Sebuah karya yang terbinmgkai rapi untuk diberikan kepada bu Ratna."
    disana tidak dijelaskan secara detail bahwa pada waktu itu ibu ratna sudah pulang dan berada di rumahnya :)
    itu aja sih pita komentarku hehe
    semangat! cerpennya bagus..

    BalasHapus
  2. Balasan
    1. ngga ngga ini bukan kisah nyata..
      oke oke komentar beb desi aku tampung.. lain kali aku perbaiki lagiii... :) thanks for your comment :*

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENEBUSAN LUKA

Agni sedang di dapur, memotong sayuran yang akan ia masak untuk makan malam. Memasak pada sore hari,   setelah menidurkan putrinya adalah satu-satunya kegiatan yang menyenangkan. Tenang, sembari menyelami dirinya sendiri, dan merenungkan peristiwa-peristiwa yang sering kali terjadi dalam keluarga kecilnya. Bagi Agni, memasak adalah waktu baginya untuk kembali merasakan dirinya sendiri. Tak jarang ia memasak sembari tersenyum geli mengingat tingkah lucu Dinar, tersipu malu mengingat malam yang panas dengan suaminya, atau menangis karena mengingat   scene  sedih dari film yang semalam ia tonton. Seperti sore ini, ia memasak sambil menangis, dari belakang terlihat punggungnya begitu keras bergetar, menahan agar tangisnya tak menimbulkan suara. Agni menangis, bukan lantaran mengingat   scene  sedih sebuah film. Ia menangis, sebab sudah tiga hari ini suaminya belum pulang, tanpa meninggalkan kabar atau semacamnya. Firasatnya buruk, sangat buruk. Bayangan suaminya yang menepis pelukannya di

Kumohon

Malam ini kuhabiskan malam mingguku dengan duduk merenung di pojok tempat tidur kosku yang sempit, sambil tertunduk kupandangi potretmu di ponselku, kian membuat hatiku terhimpit rindu. Kau dalam pose rebahan dan berbantal pada lenganmu sendiri, dengan senyum terbaik kau meluluhlantakkan hati dan perasaanku. Kenapa kau tersenyum, Kasih? Apa kau mengejekku yang dengan mudahnya jatuh cinta padamu? Apa kau menertawaiku secara diam-diam karena setiap malam kukirim kata rindu yang tak pernah kauhiraukan? Aku sungguh merindukanmu, Kasih. Apa kau tahu? Malam ini aku menangis. Menangisimu yang terus bersikap seolah tak mempedulikanku. Seolah kau sengaja menjauh dariku dengan menciptakan jarak yang sedikit demi sedikit membuatku menderita karena menahan kerinduan konyol yang tak kunjung mendapatkan jawaban. Kucium fotomu dalam-dalam lalu kubisikkan kata “Jangan pergi menjauh, karena kini aku telah datang mendekat.” Apa kau mengerti maksudnya? Kau ingat, Kasih? Dulu kau masuk dalam k

When I Miss You

Sabtu, 02 Desember 2015 19.30 Famy, gadis cantik 20 tahun itu terlihat memasuki salah satu kedai kopi paling laris di Bandung yang menjadi saksi cintanya. Saksi susah senangnya, saksi saat cintanya dimulai dan saksi pula saat cintanya berakhir kandas dengan begitu menyedihkan dua tahun yang lalu. Pahitnya kenangan berkombinasi dengan manisnya secangkir capucino selalu menjadi teman setianya mengenang cinta yang tak mungkin dapat ia harapkan lagi. Dua tahun ternyata bukan waktu yang cukup untuk dapat membuat Famy melupakan cinta pertamanya yang bahkan telah hampir terikat sebuah tali pertunangan. Kisah cinta yang telah berjalan tiga tahun lamanya harus berakhir dengan sangat menyedihkan. Oh tidak, lebih tepatnya Famy sendiri yang merasakan kesedihan itu. Nanti pasti kau sesali keputusan dirimu meninggalkan aku Lagu Fredy yang berjudul Nanti mengalun seakan menyambut kedatangan Famy di kedai kopi tersebut. Lagu yang sekali lagi mengikatnya untuk tetap mengenang kebersama