Bel tanda
masuk telah dibunyikan sejak sepuluh menityang lalu. Seluruh siswa SMA Tunas
Jaya telah masuk ke dalam kelas masing-masing. Seluruh penjuru sekolah sudah
sepi sejak bel tanda masuk itu dibunyikan. Akan tetapi, lima menit kemudian
terlihat seorang siswi dengan kacamata bulat yang menutupi matanya dan setumpuk
buku di tangan kanannya berjalan dengan kepala tertunduk dan langkah yang
semakin lama semakin cepat sehingga terkesan sedikit berlari.
Langkah
seribunya baru berhenti ketika gadis itu sampai di depan pintu ruang kelas
bercat coklat kusam yang di atasnya bertuliskan *XII IPA3*. Tumpukan bukunya ia
pindah ke tangan kiridan tangan kanannya sedikit ia angkat untuk mengetuk pintu
tua di hadapannya.
“Maaf, Pak.
Saya terlambat.” Kata gadis itu ketika dirinya berada di dalam ruang kelas.
“Hmmmmmm. Ya
memang kamu terlambat. Kalau saya hitung, sudah dua minggu ini kamu sering
terlambat. Apa alasan kamu, Rindu ?” Pak Sanjaya lantas sedikit menginterogasi
gadis itu. –Rindu- Ya!! Gadis itu barnama Rindu, gadis berpenampilan lugu
dengan setumpuk buku yang tak pernah lepas dari pelukannya, dengan kacamata
bulat yang selalu setia bertengger di depan matanya. Rindu Dwi Wulandari yang
setiap tahun namanya selalu terpanggil sebagai juara paralel. Rindu anak kedua
dari ibu Ratna dan pak Johan. Rindu yang ayah dan kakaknya meninggal dunia
karena kecelakaan ketika akan menyusul mamanya ke rumah sakit yang sedang dalam
proses persalinan ketika Rindu dilahirkan. Rindu yang selalu tertutup pada siapapun.
Rindu yang irit bicara, dan Rindu yang selalu menjadi kebanggaan guru.
“Anu, Pak,
saya,,, saya,,,”
“Kelamaan,
Rindu. Bapak mau memulai pelajaran. Duduklah!”
“Baik, Pak.”
Baru saja dua langkah Rindu hendak menuju bangkunya, langkahnya ditahan lagi oleh
pak Sanjaya.
“Rindu!”
“Iya, Pak?”
“Jangan sering
terlambat lagi, ya! Jangan sampai prestasi bagus kamu tertutup oleh prestasi
terlambat kamu yang sudah dua minggu berturut-turut ini!”
“Akan saya
usahakan, Pak.”
“Hmm,
duduklah!” Rindu pun segera duduk dan mengeluarkan buku Bahasa indonesia
miliknya. Pak Sanjaya memulai pelajarannya, dengan seksama Rindu memperhatikan
setiap yang diajarkan oleh pak Sanjaya.
15 menit lagi
pelajaran pak Sanjaya akan berakhir. Seperti biasa pak Sanjaya memberikan tugas
kepada murid-muridnya untuk dikumpulkan pada pertemuan yang akan datang.
“Anak-anak,
seperti biasabapak akan memberi kalian tugas untuk satu minggu kedepan, tugas
yang bapak berikan kali ini berhubungan dengan lomba Tulisan Remaja yang
dilaksanak oleh Menteri Pedidikan Jakarta. Bapak minta, kalian mendiskripsikan
tentang Ayah. Satu karya terbaik akan bapak ikut sertakan dalam lomba tersebut.
Mengerti ?”
“Baiklah,
selamat berkarya. Bapak akhiri, selamat siang.”
“Selamat
siang, pak!”
...
Plakkkkkkk....
“Darimana saja
kamu jam segini baru pulang?! Dasar anak gak tau diri!”
“Rindu baru
aja dari ngerjain tugas, Ma. Laptop Rindu kan udah mama rampas.”
“Jangan banyak
alasan kamu. Jangan kamu pikir dengan airmata kamu itu saya akan merasa kasihan
sama kamu.”
“Kenapa, Ma?
Kenapa mama gak pernah percaya sama Rindu? Kenapa mama selalu kasar sama Rindu?
Rindu salah apa sama mama?” Airmata itu mengalir dari balik bingkai
kacamatanya.
Plakkkkkkkkk
sekali lagi tamparan mendarat di pipi mulus Rindu.
“Berani
ngelawan saya kamu sekarang. Cepat masuk kamat sekarang! Cepat!!” Rindu segera
berlari menuju kamarnya, emosinya tak terkontrol saat ini. Diambilnya sebuah
amplop berwarna coklat dengan KOP menunjukkan nama sebuah Rumah Sakit di
Jakarta. Dibuka amplop itu secara perlahan, sebenarnya Rindu sudah membaca isi
surat itu. Akan tetapi, seakan tak dapat menerima kenyataan Rindu selalu
membaca surat itu berulang-ulang.
...
Hari terus
berganti, pagi menjadi malam dan malam pun telah menjadi pagi, Senin telah
menjadi Minggu, Januari telah menjadi Februari, Februari pun telah menjadi
Maret. Pada bulan inilah seluruh kelas XII SMA di seluruh Indonesia
bersiap-siap berjuang menjelang UN yang akan diselenggarakan satu bulan lagi.
Seperti pagi
ini, Rindu telah berada di depan pintu kelasnya sambil menatap balok kayu yang
bertuliskan *XII Ipa3*
“Satu bulan
lagi UN, itu berarti waktuku menurut dokter tinggal dua bulan lagi. Aku harus
kasih yang terbaik buat mama, aku gak mau bikin mama selalu kecewa.” Gumamnya.
... 21 Mei 2009.
Dua bulan telah
berlalu. Ujian Nasional telah ditempuh oleh seluruh sekolah di Indonesia satu
bulan yang lalu. Hari ini, seluruh siswa dan siswi SMA Tunas Jaya tengah
berkumpul di aula kebanggaan beserta wali murid untuk mendengar bersama
pengumuman kelulusan siswa-siswi SMA Tunas Jaya. Hari ini hasil perjuangan
mereka selama tiga tahun akan dibacakan.
Serangkaian
acara telah dilalui sampai pada saat sebelum pemanggilan nama murid dengan
nilai Ujian Nasional tertinngi, tiba-tiba seorang karyawan staff lari
terburu-buru ke atas panggung menemui Kepala Sekolah mengabarkan bahwa ada
salah satu siswi kelas XII yang ditemukan telah meninggal dunia di kamar mandi.
Semuayang ada di Aula terlonjak kaget dan segara berduyun-duyun mendatangi TKP.
Sampai di sana
semua kembali terperangah tak percaya setelah tahu bahwa Rindu ditemukan tak
bernyawa dengan mulut penuh busa dan seluruh kulitnya berwarna kuning dengan
selembar kertas di tangannya bertuliskan Mama, Aku Rindu! Seketika semua yang
ada di sana menangis histeris karena tak tega melihat kondisi jenazah teman
seperjuangan mereka. Ibu Rtna hanya mematung, ada airmata yang mengalir di
pipinya yang mulai mengaluarkan tanda penuaan. Ini adalah airmata pertamanya
untuk Rindu.
“Maafin mama,
Rindu. Kamu anak mama satu-satunya, nak. Jangan tinggalin mama. Mama gak punya
siapa-siapa lagi, sayang!” Tak kuasa Ia pun memeluk jenazah anak semata
wayangnya.
...
Pemakaman
Rindu telah selesai dilaksanakan, semua yang hadir melantunkan doa dan tangisan
pecah sebagai salam perpisahan mengantarkan Rindu ke peristirahatan
terakhirnya. Ibu Ratna memeluk erat nisan Rindu, penyesalan besar melanda hati
dan perasaanya.
Semua sudah
pulang sejak beberapa menit yang lalu, kini hanya bersisah pak Sanjaya dan
Kepala Sekolah yang datang membawa Tropi, Piagam Juara Satu, Piala dan Sebuah
karya yang terbinmgkai rapi untuk diberikan kepada bu Ratna.
“Bu Ratna,
sebelumnya kami dari pihak sekolah mengucapkan turut berduka cita atas
meninggalnya almarhumah Rindu Dwi Wulandari. Yang ibu perlu ketahui, maksud dan
tujuan kami datang ke sini untuk memberikan ini, Bu. Tropi ini dari Menteri
Pendidikan Jakarta karena Rindu memenangkan lomba Tulisan Remaja yang diadakan
oleh Menteri Pendidikan Jakarta beberapa bulan yang lalu, ini naskahnya.
Kemudian, ini piala dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono karena Rindu
merupakan juara 1 nilain Ujian Nasional tertinggi se Indonesia. Sekali lagi
kami atas nama sekolah begitu bangga dengan prestasi yang dicapai oleh Rindu.”
“Terima kasih
pak.” Jawab bu Ratna dengan mata berkaca-kaca tak kuasa menahan kesedihannya.
Penyesalan besar karena telah membeci anak yang membuatnya begitu disegani oleh
orang lain karna prestasi yang luar biasa gemilang.
“Ibu yang
sabar ya, pasti akan ada hikmah di balik semua ini. Kami mohon pamit ya, B.
Assalamu’alaikum.”
Seperginya
pak Sanjaya dan Kepala Sekolah, Bu Ratna masuk ke dalam kamar Rindu. Bu Ratna
duduk di pojok kasur anaknya hendak membaca hasil karya yang dibuat oleh
anaknya tercinta.
A.Y.A.H
AYAH
Empat
huruf yang membuatnya terbentuk menjadi kata indah yang dikenal oleh
sebagian orang yang mengenalnya. Namun bagiku, siapa AYAH? Aku tak
mengenalinya. Aku tak pernah tahu bagaimana bentuk matanya, hidungnya,
alisnya, telinganya, bibirnya, mulutnya. Aku juga tak pernah tahu seperti
apa warna kulitnya, aku tak pernah tahu sekasar apa tangannya, dan aku pun
tak pernah tahu setegap apa tubuhnya. Aku tak kenal siapa AYAH.
AYAH
Aku hanya
mengerti kasih sayangnya lewat lelaki paruh baya yang menggendong anak
kecilnya, aku hanya mengerti belaian tangannya dari lelaki paruh baya yang
mengusap lembut rambut anak perempuannya, aku hanya mengerti cintanya dari
lelaki paruh baya yang memeluk anaknya yang sedang sakit. Apakah ayah itu
lelaki paruh baya? Aku tak tahu.
AYAH.
Ketika
pada kesempatan lain aku melihat lelaki paruh baya tertangkap polisi karna
mencuri. Ketika pada kesempatan lain aku mendengan berita lelaki paruh
baya tertangkap polisi karna membunuh anak istrinya. Ketika pada kesempatan
lain aku memergoki lelaki paruh baya tertidur di trotoar karena mabuk.
Diakah AYAH? Aku juga tak tahu.
Yang aku
tahu hanya MAMA
Aku
dilahirkan dari rahim seorang MAMA. Aku dibesarkan oleh MAMA, makan dan
minum karena ada MAMA, tidur nyenyak di atas kesur empuk karena MAMA dan
aku bisa sekolah karena MAMA.
Yang aku
tahu hanya MAMA
MAMA yang
sayang padaku, MAMA yang mencintaiku, MAMA yang menjagaku, MAMA yang
membesarkanku dan
MAMA
YANG AKU RINDUKAN
I
LOVE YOU MAMA
|
Bu Ratna tak
kuasa lagi menahan tangisnya. Dipeluknya karya tulis itu dengan penuh kasih
sayang, pelukan yang belum pernah dirasakan oleh Rindu seumur hidupnya. Bu
Ratna terus menangis sambil melihat setiap inci isi kamar almarhumah anaknya,
hingga pandangannya terhenti pada satu titik pada sebuah amplop coklat. Bu
Ratna menghampiri meja belajar Rindu dan secara perlahan membuka isi amplop
coklat itu. Dibacanya hasil pemeriksaan laboratorium itu dengan seksama. Bola
mata bu Ratna terhenti pada satu kalimat. Dengan
saudari Rindu Dwi Lestari dinyatakan mengidap penyakit icterus stadium tiga.
“Nggak. Gak
mungkin anakku mengidap penyakit mematikan ini. Gak mungkiiiiiinn!!!” bu Ratna
menangis histeris.
Yah, Penyakit
kuning atau yang dalam bahasa ilmiah disebut dengan icterus atau jaundice
adalah penyakit yang disebabkan oleh adanya perubahan pada warna kulit, sclera (bagian putih pada mata) dan juga
kelenjar ludah yang disebabkan oleh meningkatnya bilirubin pada tubuh manusia.
Jika kadar bilirubin dalam tubuh melebihi kapasitas normal maka bilirubin akan
memecah dan bercampur dengan darah kemudian akan mempebgaruhi perubahan pada
warna kulit dan mata menjadi kekuningan. Penyakit inilah yang pada akhirnya
mengantarkan Rindu untuk lebih mengenal ayah dan kakaknya. Penyakit yang
menjauhkannya dari mama yang selama hidupnya dia rindukan. Penyakit yang
mengantarkan Rindu bertemu dengan Sang Pencipta.
aku terharu pita :)
BalasHapuscerpennya bagus kok, cuma perlu diperbaiki pada bagian latarnya. pada bagian " Pemakaman Rindu telah selesai dilaksanakan, semua yang hadir melantunkan doa dan tangisan pecah sebagai salam perpisahan mengantarkan Rindu ke peristirahatan terakhirnya. Ibu Ratna memeluk erat nisan Rindu, penyesalan besar melanda hati dan perasaanya.
Semua sudah pulang sejak beberapa menit yang lalu, kini hanya bersisah pak Sanjaya dan Kepala Sekolah yang datang membawa Tropi, Piagam Juara Satu, Piala dan Sebuah karya yang terbinmgkai rapi untuk diberikan kepada bu Ratna."
disana tidak dijelaskan secara detail bahwa pada waktu itu ibu ratna sudah pulang dan berada di rumahnya :)
itu aja sih pita komentarku hehe
semangat! cerpennya bagus..
kisah nyata kah??
BalasHapusngga ngga ini bukan kisah nyata..
Hapusoke oke komentar beb desi aku tampung.. lain kali aku perbaiki lagiii... :) thanks for your comment :*
Owhh Rinduuuuu :'(
BalasHapuskenapa ayu ????
BalasHapus