Pulang
Oleh
: Kuspita Sari
Pukul setengah lima
sore, aku baru saja bangun dari tidur. Melangkah sembarangan mendekati jendela
kamar, awalnya aku berniat menutup jendela karena hari mulai merunduk ke arah
Barat. Namun tanganku terhenti, niat menutup jendela kuurungkan karena merasa
takjub melihat sinar senja di ujung hamparan laut luas di samping rumah, sejauh
mata memandang lambaian nyiur seperti menjadi penari latar pengantar senja.
Sudah lama sekali aku tak melihat keindahan seperti ini. Sejak merantau ke kota,
pemandangan senja seperti saat ini tak pernah lagi kulihat karena tertutup
bangunan-bangunan menjulang. Nyiur melambai pengiring senja digantikan oleh
pemandangan yang menyesakkan mata berupa kemacetan, mengantar senja ke
peraduan.
Dulu, ketika usiaku masih
memasuki tahun kelima, bapak sering sekali mengajakku menghabiskan sore hari
bersama, “mengantar senja” katanya. Mengganggu tidur soreku, memaksaku bangun
dengan segala cara, dari menggelitik sampai menggendongku yang masih dalam
keadaan tidur di pundaknya lantas membawaku berlari ke luar rumah, demi
menghabiskan waktu denganku menatap senja.
Sebenarnya aku bukan
anak semata wayang bapak, aku memiliki tiga kakak yang ketiga-tiganya adalah
laki-laki. Aku adalah satu-satunya perempuan di rumah ini, tinggal di tengah
empat orang laki-laki. Ibu meninggalkan kami semua bersama seorang duda kaya
karena menurutnya bapak tak mampu membuat ibu bahagia, masalah ekonomi, klise
sekali. Kadang aku berpikir, kenapa ekonomi selalu dikait-kaitkan dengan kebahagiaan.
Apakah manusia hanya bahagia dengan kemapanan ekonomi ? diam-diam di sudut hati
aku berdoa semoga kelat aku tak besar sebagai perempuan penggila harta sampai
meninggalkan keluargaku seperti ibu. Namun aku tak pernah menyesali takdirku
yang demikian, aku bahagia, hidup di tengah empat orang laki-laki yang sangat
menyayangiku membuatku merasa aman. Meskipun dalam diam aku sering berdoa agar
suatu saat ibu berubah pikiran dan kembali pada kami semua.
Bapakku seorang
nelayan, walaupun beliau memiliki ijazah yang cukup memadai untuk dirinya
bekerja di kantor elite, beliau tetap
memilih menjadi seorang nelayan, mungkin itulah yang membuat ibu marah dan
meninggalkan kami, ibu berpikir bahwa seharusnya hidup kami akan lebih mapan
dan bahagia kalau saja bapak mau memanfaatkan ijazahnya dan bekerja di kantor elite. “Bapak ini memiliki bakat nelayan yang sangat baik, bapak tetap menjaga
kelestarian laut dengan tidak mengambil ikan secara gila-gilaan seperti nelayan
lainnya.” Begitu alasannya. “Selain itu, bapak masih bisa memastikan keluarga
bapak baik-baik saja di rumah karena kantor kerja bapak tak berada jauh, hanya
di depan rumah.” Alasan ini dulu ditambahkan untuk meyakinkan ibu, bahwa bapak
sangat peduli pada keluarganya. Meski nyatanya alasan ini pun tak mampu membuat
ibu bertahan dan tetap memilih pergi.
Aku adalah anak bungsu
dari empat bersaudara, kakak pertamaku namanya Hadi, aku biasa memanggilnya
Bang Had. Dia yang paling tak banyak bicara diantara kami, sebagian besar
masalah-masalahnya diselesaikannya sendiri, dia juga yang paling bijak,
pembawaannya begitu kaku dan dingin pada wanita, kecuali aku tentunya. Namun
kini dia telah berkeluarga, hatinya tertambat pada seorang gadis yang dulunya
adalah kembang desa, Juita namanya, dan aku lebih akrab menyebutnya Yu Jui,
“Dia beda dengan perempuan lain, apalagi perempuan macam ibu.”, katanya suatu
ketika. Memang, diantara kami juga, Bang Had yang paling menaruh dendam pada
ibu lantaran kepergiannya yang tak bertanggung jawab. Akan tetapi, sejak
bertemu Yu Jui pandangan hidupnya tentang perempuan telah berubah dan dia
benar-benar siap mempertaruhkan apapun untuk mempertahankan cintanya.
Dulu, keluarga Yu Jui
sempat tak menerima lamaran Bang Had, lantaran Bang Had pengangguran katanya.
Itu membuat Bang Had murung selama seminggu, enggan keluar kamar. Kupikir, Yu
Jui ini benar-benar spesial untuknya, karena tak pernah sekalipun Bang Had
semurung itu sebelumnya, bahkan saat ibu pergi dari rumah, keesokan harinya dia
telah kembali bermain bersama kawan-kawannya di dekat dermaga.
Lalu setelah lewat
seminggu, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan dia telah berdandan rapi sekali.
Dia bilang hendak merantau ke kota cari kerjaan, supaya lamarannya diterima
oleh Lek Parmin, begitu dia pamit pada bapak. Sebelum berangkat dia juga mampir
ke rumah Yu Jui, katanya hendak memohon doa restu.
“Saya akan buktikan
bahwa saya benar-benar serius ingin menikahi anak Lek Parmin, dan saya akan
buktikan bahwa saya bisa membuat Jui bahagia.” Begitu dulu sumpahnya di depan
rumah Lek Parmin. Hari itu, aku dan Yu Jui berurai air mata melepas Bang Had di
ujung kampung. Aku tak pernah menyangka Bang Had rela mongorbankan segalanya
demi cinta, namun aku bangga pada keputusannya.
Dua tahun kemudia, Bang
Had menepati janjinya. Bang Had pulang, kembali ke kampung membawa kesuksesan
dengan usahanya di kota. Ceritanya begitu haru, menyentuh sisi sentimentil Lek
Parmin, dan karena Yu Jui tak kunjung mau dipinang siapapun, maka jatuhlah
dirinya pada Bang Had, yang usut punya usut memang adalah cinta pertamanya.
Memang begitulah
kampung kami, dahulu pacaran adalah aib. Jika sampai ketahuan dan tertangkap
basah, malunya seperti meletakkan kotoran sendiri di wajah, dan perempuan yang
sudah berusia lebih dari 20 tahun jika belum menikah akan dicap sebagai perawan
tua dan akan malu seluruh anggota keluarganya. Namun, itu dahulu,
bertahun-tahun sebelum saat ini. Karena enggan menanggung malu lantaran anaknya
tak kunjung menikah, maka diterimalah Bang Had ketika datang kembali ke rumah
Lek Parmin untuk melamar Yu Jui.
Kakak keduaku Maritim
namanya, Kusebut dia Bang Mar. Aku sangat suka nama yang dimiliki Bang Mar,
bagiku begitu dekat dengan alam, cocok dengan kondisi kami yang hidup di daerah
pesisir pantai, dan Bang Mar selalu dengan bangga menjelaskan arti namanya
sesuai versinya sendiri. Selain itu, Bang Mar adalah abangku yang paling
rupawan, dia memiliki hidung yang mancung dengan alisnya yang tebal, senyumnya begitu
maut dan mengikat siapapun wanita yang memandangnya. Tubuhnya gagah, tegap dan
atletis, tingginya juga sangat proporsional, bagiku Bang Mar sempurna sekali,
dan kelak setelah aku tumbuh menjadi remaja, aku selalu berharap bahwa calon
suamiku seperti Bang Mar, baik hati dan tampan.
Berbeda dengan Bang
Had, Bang Mar begitu hangat dan penyayang, ramah dan sangat fleksibel. Hidup
bersamanya akan penuh dengan kejutan dan banyak cerita menarik. Dia juga suka
sekali petualangan, semasa SMA dia telah berulang kali pergi mendaki gunung,
baik di dalam maupun di luar daerah kami. Kemudian, dia akan bercerita panjang
lebar sepulang dari petualangnya.
Bang Mar adalah yang
paling dekat denganku setelah bapak. Sejak dulu waktunya banyak dihabiskan
bersamaku, biasanya ketika bapak melaut sampai sore, Bang Mar selalu
menggantikan bapak menemaniku mengantar senja. Bang Mar adalah yang tersabar
diantara kami berempat. Dia bisa menjadi kakak, adik dan anak yang baik secara
bersamaan. Dia adalah anak kesayangan, kakak panutan, adik kebanggan, dan
menantu idaman. Selain itu, diantara kami bertiga, Bang Mar adalah yang terbaik
di bidang akademik, kata bapak “dia mewarisi kecerdasan ibu dengan baik”. Dia
selalu rangking paralel di sekolah, tak heran jika dia bisa lolos masuk kuliah
jalur PMDK –yaitu tanpa dipungut biaya-.
Kalau tentang masalah
cinta, saat SMA sebetulnya Bang Mar pernah menyimpan foto perempuan di
kamarnya. Cantik sekali, wajahnya anggun di balik kerudung, foto itu ia simpan
di sebuah kotak berwarna coklat –warna kesukaan Bang Mar- yang ia letakkan di
atas meja riasnya. Memanglah, diantara kami hanya Bang Mar yang paling teratur,
kamarnya rapi setiap hari, dan sebulan sekali seprai kasurnya selalu diganti,
Bang Mar juga selalu mencuci pakaiannya sendiri. Kadang sesekali dia juga
sering merapikan kamar tidurku. Dia begitu sempurna.
Foto gadis berkerudung
itu nyatanya sering dia cium ketika sebelum tidur. Aku tahu setelah beberapa
malam kuintai kamar Bang Mar dari lubang celah di kamarnya. Sepertinya abangku
sedang kasmaran, saat itu sering sekali dia tampak semangat menggebu-gebu
ketika akan berangkat sekolah, semangat mengerjakan apapun, dan senyum-senyum tak
karuan dimana pun dia berada. Saat itu aku hanya bahagia melihat abangku
menjadi sedemikian tampak bahagia, kelak baru kuketahui bahwa itu adalah efek
samping dari virus cinta.
Namun, sepekan kemudian
wajah Bang Mar nampak murung, foto perempuan dan kotak berwarna coklat itu tak
lagi berada di atas meja riasnya. Matanya begitu sendu. Ternyata baru-baru ini
kudengar bahwa perempuan beberapa tahun lalu yang fotonya ada di kamar Bang Mar
saat itu telah diperjodohkan dengan lelaki lain dan perempuan itu tak kuasa
menolak perintah bapaknya, miris sekali kisah cinta abangku.
Sejak saat itu, tak
pernah lagi ada foto wanita di dalam kamarnya, mungkin Bang Mar masih tak bisa
melupakan gadis berkerudung itu, mungkin Bang Mar masih ingin mencari yang
benar-benar pas di hatinya untuk menggantikan gadis berkerudung itu. Aku tak
pernah mengerti alasannya. Satu hal yang pasti, Bang Mar tetap hidup dan
menyayangiku setelahnya.
Kakakku yang ketiga
adakah Triagung, aku memanggilnya dengan Bang Tri. Namanya juga bagus, cocok
dengan dirinya yang memang adalah anak ketiga. Diantara kami, Bang Tri
satu-satunya yang pernah membuat bapak harus dipanggil ke sekolah karena dia
berkelahi dengan seorang guru.
“Tri bukan bermaksud
kurangajar, Pak. Tri membela harga diri yang diinjak-injak. Guru itu telah
meremehkan keluarga kita saat Tri bilang ingin melanjutkan kuliah. Bahkan saat
itu Tri sedang bicara dengan teman Tri, tapi tiba-tiba guru biadab itu menjawab
penuh hinaan. Tri tak terima keluarga kita dihina.”, begitu katanya ketika
bapak meminta penjelasan pada Bang Tri setibanya di rumah.
“Bukan dengan cara
seperti itu, Nak. Kau bahkan bisa saja membuktikan bahwa keluarga kita tak
pantas dihina dengan prestasimu. Tak perlu kau dengar omongan orang yang hanya
menyulut amarah.” Kata bapak.
“Ini bukan hanya sekali
dua kali, Pak. Guru itu telah amat sering memperlakukan Tri demikian, bahkan tugas
Tri yang sudah pasti benar mendapat nilai buruk dari dia. Dia begitu tak adil,
Pak. Dan Tri tak pernah tahu alasan dia membenci Tri.” Jawab Bang Tri tetap
mempertahankan pembelaannya.
Saat itulah aku
benar-benar melihat kasih sayang Bang Tri, caranya membela keluarga kami
mati-matian. Dia tak pernah segan atau takut berhadapan dengan siapapun yang
melecehkan keluarga kami. Aku menyadari bahwa Bang Tri punya media tersendiri
dalam menyayangi keluarga.
...
“Upi, kau belum bangun
juga ? perawan tak boleh tidur menjelang Maghrib. Bangun atau Abang siram kau!”
aku langsung kembali ke alam sadarku, itu suara teriakan Bang Tri, aku
tersenyum mendengarnya, dia memang tak pernah berubah.
“Iya, Bang. Tunggu
sebentar, Upi sudah bangun. Bujang tak boleh teriak-teriak begitu, Bang.
Seperti ibu-ibu saja.” Jawabku sambil tertawa dan segera menutup jendela. Dari
luar tak lagi terdengar sahutan. Mungkin Bang Tri langsung pergi, batinku.
Hari memang telah
surup, sebentar lagi Adzan Maghrib akan berkumandang. Aku segera keluar kamar membawa
handuk dan sabun untuk mandi. Setelah pintu dibuka, rupanya Bang Tri masih
berdiri di depan kamar, wajahnya murung, tegang, sendu, seperti digelayuti
kesedihan yang mendalam.
“Loh, masih di sini,
Bang. Kukira sudah pergi, kenapa wajah Abang tegang begitu? Abang marah
gara-gara Upi tak lekas bangun?” tanyaku masih tak mengerti.
“Ayo ikut ke ruang
tamu, ada yang ingin bertemu denganmu.” Matanya menatap lekat mataku, ada
kekhawatiran di sana, Bang Tri lalu merangkulku dari samping, aku yang masih
tak mengerti menurut saja didampinginya menuju ruang tamu. Di sana rupanya Bang
Had dan Yu Jui telah duduk bersisian, mereka tertunduk, dan wajah mereka juga
sendu. Di kursi lain, duduk dua orang berseragam yang tak kukenali.
“Bang Had, ada apa? siapa
yang ingin bertemu denganku?” tanyaku yang mnasih kebingungan dengan kondisi
semacam ini.
“Begini, Dik. Kami dari
kepolisian, dengan sangat menyesal memberitahukan bahwa seorang pemuda bernama
Maritim ditemukan dalam keadaan tak bernyawa setelah tiga hari dinyatakan
hilang dari rombongannya ketika dalam perjalanan pulang dari pendakian gunung
Mahameru.”, sampai di situ kalimat seorang yang berseragam itu, selanjutnya
yang kudengar hanya desingan suara yang memekakkan gendang telinga, otot-ototku
terasa melemas seketika tak mampu menopang tubuhku, untung dengan sigap Bang
Tri menangkap tubuhku sebelum terjatuh. Aku menangis tanpa suara.
Bang Mar begitu sehat,
bahkan sebelum berangkat ke pendakiannya seminggu lalu ia meneleponku dan
berjanji bahwa hari ini dia telah akan tiba di rumah bersama kami, berkumpul
bersama. Dia berjanji akan menemaniku mengantar senja. Dia sudah sering kali naik
turun gunung, tubuhnya sangat bugar, tak mungkin dia tak bisa mengatasi
kesulitan dirinya dalam perjalanan. Lalu sekarang dua orang berseragam ini
malah membawa berita bohong bahwa abangku meninggal dunia. Pembohong, tak
mungkin abangku, tak mungkin.
Pikiranku terus
berkata, berkecamuk, di tengah tangisku yang tanpa suara, yang bisa kulakukan
hanya menutup mulutku dengan tangan dan memasrahkan kekuatan tubuhku dalam
dekapan Bang Tri.
Dua tahun lalu, bapak
telah berpulang meninggalkan kami semua, sehingga formasi kami bukan lagi satu
wanita diantara empat pria, tapi hanya bersisah tiga pria, lalu sekarang Bang
Mar yang selalu menggantikan ayah menemaniku juga telah berpulang, kenapa Tuhan
begitu teganya mengambil orang-orang yang aku sayangi, mengapa Tuhan tak bisa
kuajak berkompromi bahwa aku ingin selamanya hidup bersama lelaki-lelakiku.
Bahwa aku ingin sejauh apapun aku berjalan, selama apapun aku pergi, aku masih
ingin pulang bertemu empat lelakiku yang masih lengkap dan menyambutku dengan
peluk hangat.
“Kalian bohong, jangan
bodoh mengirim berita sembarangan, tak mungkin abangku meninggal dunia. Kalian
berdua, dengar! di rumah ini ada tombak, kalian jangan sembarangan mengirim
berita, mungkin yang kalian maksud adalah Maritim yang lain, bukan Maritim
kami. Kalian pasti salah rumah. Pergi kalian!” dengan sangat lemah kupaksa
kalimatku keluar. Aku benar-benar tak percaya, sebelum melihat jenazahnya.
Kemudian satu dari dua
orang berseragam itu berbicara lagi, aku masih tak bisa mendengarnya dengan
jelas, mataku juga berkunang-kunang, sebelum semua menjadi gelap dan kudengar
semua orang berteriak menyerukan namaku, lalu aku tak ingat apapun lagi.
...
“Upi, bangun, Nak.
Abang-abangmu telah menunggu di meja makan, cepat mandi dan turun untuk makan
malam.” Suara itu begitu lembut dan menggetarkan, suara seorang wanita yang
kurindukan selama tadi kubermimpi.
“Iya, sebentar lagi Upi
turun, mau matikan komputer dulu.” Jawabku.
“Yasudah, jangan
lama-lama ya, Nak.” Katanya lagi, aku hanya mengangguk.
Kutulis lagi beberapa
kata di bagian akhir karanganku, lalu segera aku turun ke ruang makan tanpa
mandi terlebih dahulu, perutku sudah lapar, lagi pula aku bisa mandi setelah
makan saja. Di sana, di ruang makan telah duduk bapak di ujung meja, di samping
kirinya ada ibuku yang menggenggam erat tangan bapak, lalu Bang Mar, dan Bang
Tri di samping ibu, sedang di kursi seberang ada Bang Had beserta istrinya, Yu
Jui, dan satu kursi kosong untukku. Aku menghentikan langkahku beberapa saat
dan diam-diam di sudut hatiku berdoa.
“Terima kasih, Tuhan.
Keluargaku masih utuh, semoga cerita dalam laptopku tak pernah benar-benar
terjadi, semoga keluargaku semua masih bisa bersama sampai kami benar-benar
siap kehilangan, semoga setiap kali aku berjalan terlalu jauh, pergi terlalu
lama, terbang terlalu tinggi, aku masih memiliki tempat pulang yang seperti
ini, disambut oleh seluruh anggota keluarga dengan senyuman hangat. Jangan
pisahkan kami, Tuhan. Kecuali dengan kematian yang bersamaan. Amin.”
...
Namaku Upi, gadis 19
tahun yang sedang berkuliah di sebuah Universitas di Kotaku, jurusan Sastra
Indonesia. Aku memiliki bapak seorang nelayan, dan ibuku seorang ibu rumah
tangga yang tak diijinkan bekerja mencari nafkah oleh suaminya –bapakku-.
Namaku Upi, aku memiliki tiga orang kakak yang ketiga-tiganya adalah lelaki.
Formasi yang begini membuat aku dan ibuku termasuk yang paling cantik di rumah
kami. Namaku Upi, orang bilang aku mewarisi kecantikan ibuku dengan baik.
Namaku Upi, tinggal di daerah pesisir
Jawa Timur. Namaku Upi, dan aku bahagia memiliki keluarga penuh cinta tempatku
akan pulang.
Jember, 15 Oktober 2016
Komentar
Posting Komentar