Saat itu hari
Sabtu, waktu masih menunjukka pukul 04.30 dini hari. Aku baru saja selesai
melaksanakan ibadah solat Subuh di kamar kontrakanku di Jember. Tiba-tiba saja,
aku dikejutkan oleh suara telepon yang berdering, dari Ibu. Setelah kuucap
salam, kutanyakan pada beliau perihal apa yang terjadi di rumah sampai Ibu
menelepon di pagi buta.
“Pulanglah, Nak. Jantung bapak kambuh, sekarang keadaannya sangat parah. dia memanggil namamu sejak tadi malam.” Jawab beliau. Ototku lemas seketika, bayangan bapak mengeluhkan namaku sambil menahan sakitnya menikam tepat di ulu hatiku. Memang sudah lama bapak divonis penyakit jantung, tapi sudah lama juga penyakit itu tak pernah kambuh dan menyakiti bapak.
Pagi itu,
pikiranku berkecamuk, segala kemungkinan terburuk melintas di sana. Tapi aku
berusaha untuk tetap beristighfar, agar
tak suudzan pada Allah. Kusegerakan membuat surat ijin untuk bagian akademik
kampus. Setelah berpamitan pada ibu kontrakan, aku bergegas berangkat menuju
terminal Arjasa, surat sudah kutitipkan pada teman sejurusan.
Perjalanan
menuju rumah yang hanya tiga jam perjalanan, kini terasa lebih panjang dan
lama. Aku terus beristighfar dan sesekali mengusap air mata, bayangan bapak serasa menemani perjalanku menuju rumah.
Pukul 08.30
pagi aku tiba di rumah, hatiku was-was melihat para tetangga berkumpul di
halaman rumah. Sampai di depan pintu, tanpa sempat mengucap salam, aku langsung
memeluk ibu, menangis dalam pelukannya. Aku tak perlu meminta jawaban, jenazah
yang sudah dimandikan dan tertutup kain putih telah menjawab semuanya. Bapak
sudah pergi.
"Bapak pergi, Nduk. Bapak meninggalkan ibuk. Sampai tadi pagi di hembusan nafas terakhirnya dia masih memanggil namamu, Nduk." seru ibuku disela tangisannya. Matanya bengkak menandakan dia melewati malam-malamnya dengan air mata.
"Bapak pergi, Nduk. Bapak meninggalkan ibuk. Sampai tadi pagi di hembusan nafas terakhirnya dia masih memanggil namamu, Nduk." seru ibuku disela tangisannya. Matanya bengkak menandakan dia melewati malam-malamnya dengan air mata.
Setelah
pemakaman selesai, aku dan ibu berjalan dengan lunglai ke rumah sambil saling
berpelukan. Aku masih tak percaya bapak pergi, pada kepulanganku bulan lalu,
bapak masih sangat sehat. Bahkan tiga hari yang lalu bapak masih menelepon
dan sempat meledekku.
“Ini ada
surat dari bapak, buat kamu katanya.” Kata ibu sesampainya di rumah sambil
menyerahkan amplop biru yang sangat wangi.
“Bapakmu
sangat tahu betul kamu suka warna biru , Nduk.” Lanjut beliau sambil mengusap
air mata. Surat itu menambah duka, kututup kamarku dan mulai membuka surat dari bapak, wangi surat ini sama persis seperti aroma tubuh bapak. Rasanya beliau sengaja menyemprotkan minyaknya ke surat ini. perlahan mulai kubaca isi surat itu.
I LOVE YOU bapak Kusman |
...
Surat Dari
Bapak.
Untuk Si
Nduk yang tersayang,
Nduk, kamu
sudah dewasa sekarang. Sudah cantik. Maafkan bapak, bapak belum bisa menjalankan
amanah kamu waktu bapak datang melamar ibumu. Harusnya bapak masih bertanggung
jawab menjaga ibumu. Tapi, mau bagaimana lagi. Allah menurunkan penyakit di
jantung bapak yang tiba-tiba saja membuat bapak tak berdaya.
Nduk Iras
yang cantik, bapak tahu. Kamu masih belum sepenuhnya menyayangi bapak. Itu
wajar, Nduk. Bapak Cuma bapak tirimu. Tapi kamu harus tau satu hal, bapak
menyayangi kamu lebih dari bapak menyayangi diri bapak sendiri. Iras adalah
anak bapak satu-satunya. Bapak sayang sama Iras.
Nduk, dulu kamu
sering sekali cerita sama bapak, kita bercerita sambil kamu duduk di boncengan
sepeda onta bapak dan kita jalan-jalan sampai menjelang Magrib, setelah itu
ibu marah-marah gara-gara bapak membawamu yang belum mandi, waktu itu kamu
masih SMP, dan bapak baru saja menikahi ibumu. Dulu kamu sangat suka
menceritakan semua hal yang terjadi di luar rumah kepada bapak.
Nduk, ingat
tidak? Dulu kamu sering sekali mengadu pada bapak sambil menangis kalau kamu dimarahi ibu, terus kamu
minta bapak untuk memarahi ibu juga. Kamu juga sering bilang kalau ibu orang yang
cerewet, terus bapak setuju dan kita berdua tertawa bersama-sama sampai kamu berhenti menangis.
Nduk, kamu
memang bukan darah daging bapak. Tapi sungguh bapak mengingat semua yang sudah
bapak lewati bersama kamu, putri kecil bapak.
Semenjak
kamu melanjutkan sekolah ke SMA, kamu sudah mulai sibuk dengan dunia kamu,
sudah tidak mau dibonceng sepeda onta bapak lagi, sudah jarang sekali mau
berbagi cerita sama bapak. Kamu lebih sayang sama benda-benda baru kamu, hp,
laptop, lalu kamu lebih sering memasang penutup telinga dan tak pernah mau
menegur bapak. Saat itu bapak sangat sedih, bapak kehilangan putri kecil bapak.
Bapak sangat merindukan putri kecil bapak. Bapak selalu ingin memeluk putri
kecil bapak sebelum tidur seperti dulu, tapi ternyata waktu itu kamu selalu
tidur lebih malam dari bapak.
Suatu
ketika kamu jatuh sakit, Nduk. Waktu itu, kamu dan ayah baru saja bermain hujan
dan tertawa bersama di bawah hujan, lalu tengah malam kamu mengigau dengan
keras, badan kamu panas dan kamu menggigil. Ibu kebingungan dan panik sambil
mengompreskan air hangat di keningmu. Bapak tak kalah paniknya, waktu itu
bapaklah orang yang paling merasa bersalah telah membuatmu sakit karena
mandi hujan. Bapak ketakutan, bapak takut terjadi sesuatu padamu. Karena suhu badanmu tak turun juga, bapak dan ibu segera membawamu ke UGD malam itu juga.
Dari paniknya, bapak lupa hanya keluar menggunakan celana pendek dan baju
terbalik. Bapak tak perduli dipandang aneh oleh orang-orang di sana asalkan
kamu segera ditangani oleh dokter, Nduk. Yang bapak pentingkan saat itu hanyalah kesehatan kamu, bahkan bapak sangat berharap agar bapak bisa menggantikan posisimu. Setelah tujuh hari di rumah sakit
dengan penuh kebahagiaan bapak mejemputmu, membawamu pulang dan
menyiapkan makanan favoritmu, kepiting masakan ibu, dan sate.Bapak selalu berharap kamu tak pernah kesakitan seperti saat itu lagi.
Sekarang
kamu melanjutkan lagi sekolahmu, berkuliah di Jember dengan Cuma-Cuma karena
mendapat bantuan dari pemerintah, kamu memang putri bapak yang paling hebat,
bapak bangga sama kamu, sampai saking bangganya bapak selalu menceritakan
kepada saudara-saudara bapak tentang keberhasilanmu kuliah tanpa biaya.
Tapi ada satu hal yang membuat bapak sangat
sedih. Kamu akan keluar dari rumah dan berada lebih jauh lagi dari bapak. Saat
itu, rasanya tidak ada yang mengalahkan rasa khawatir bapak melepaskan kamu
jauh dari rumah. Bapak selalu takut terjadi sesuatu yang buruk pada diri kamu,
Nduk. Tapi lambat laun, bapak mulai percaya bahwa kamu tetap adalah anak bapak
yang hebat dan pasti akan menjaga dirinya dengan baik.
Sejak saat
itu, setiap sepertiga malam bapak selalu terjaga melaksanakan solat Tahajud dan
setelah itu menangis merintih pada Allah agar Allah senantiasa menjaga putri
bapak dan melancarkan segala urusannya.
Nduk,
sebenarnya bapak masih ingin sehat dan hadir di acara wisudamu sebagai sarjana. Tapi, kondisi bapak sudah tidak memungkinkan lagi. Kemarin bapak
meneleponmu, bapak keluarkan seluruh tenaga bapak agar terdengar baik-baik saja, bapak tidak ingin kamu mencemaskan keadaan bapak dan mengganggu
kuliahmu, bapak juga melarang ibu memberitahu keadaan bapak yang
sebenarnya. Maafkan bapak, Nduk. Jangan menangis karena tak sempat bertemu
bapak untuk terkahir kalinya, bapak sudah sangat bahagia sekarang karena di akhir
usia bapak, kamu kembali mau bercerita panjang lebar tentang kuliahmnu, tentang
nilai mata kuliahmu yang mendapat nilai E. Hahaha, betapa cerobohnya anak
bapak. Jangan sampai itu terulangi lagi, Nduk.
Setelah
ini, kamu akan kembali menjalani kehidupan berdua dengan ibu. Jangan
sampai menyakiti perasaan ibu. Sayangi ibu kamu, Nduk. Ibu memang suka cerewet,
tapi percayalah. Itu karena ibu sangat sayang sama kamu, bahkan mungkin
melebihi rasa sayang bapak. Hanya saja ibu tak pandai menyampaikannya dengan
manis, maka kamu harus memulainya terlebih dahulu. Kalau bukan karena ibu kamu
yang cerewet, tak akan pernah ada Iras yang hebat seperti saat ini, yang
membuat bapak bangga menjadi ayah tirimu. Rasanya bapak adalah ayah tiri yang
paling bahagia mendapatkan putri yang sebaik, dan sehebat kamu.
Jaga diri
Iras baik-baik ya. Jaga ibu juga, bahagiakan ibu ya, Nduk. Berjanjilah sama
bapak, kamu akan menjaganya sekalipun kamu telah memiliki keluarga sendiri,
karena hanya Iras satu-satunya tumpuan harapan ibu.
Satu lagi,
carilah pasangan hidup yang baik, yang terpenting dia seagama. Cari laki-laki
yang benar-benar bisa bertanggung jawab kepada kamu. Sekarang bapak tidak bisa
ikut menyeleksi calon suamimu, tapi bapak percaya putri bapak yang hebat pasti
mampu memilih calon suami terbaik yang pernah ada di dunia. Jangan mencari yang
sempurna, Nduk. Tapi carilah kesempurnaan itu bersama-sama dengan pasanganmu
kelak.
Sudah dulu
ya, Nduk. Sudah sangat banyak yang bapak tuliskan uantuk kamu. Jantung bapak
sakit lagi, tapi kamu tak perlu khawatir. Saat kamu membaca surat ini, bapak
sudah tak akan pernag merasakan sakit lagi.
Semoga
kebahagiaan selalu menyertaimu, Nduk.
Tertanda,
Bapak yang
selalu menyayangimu.
...
Aku tak
kuasa menahan tangis, aku menangis tersedu-sedu di pojokan kasur meremas surat
bapak dengan erat. Betapa bapak begitu menyayangiku meskipun aku bukan anak
kandungnya.
“Ibu tidak
perlu tau apa isi surat dari bapakmu, Nduk. Yang pasti ibu melihat kasih
sayangnya begitu tulus untuk kamu, dari bagaimana wajahmu saat membaca surat
itu.” Aku menatap wajah tua ibuku, ada kelelahan di sana. Aku memeluknya dengan
erat.
“Jangan
tinggalkan Iras sampai Iras benar-benar membahagiakan ibu dengan kerja keras
Iras sendiri ya, Bu!” aku tahu itu konyol, tapi hanya itu yang ingin
kusampaikan.
“Kalau
begitu, mari kita berdoa bersama-sama kepada Allah.” Kata beliau lalu beliau
mencium keningku dalam-dalam dan lama sekali.
Hari itu
kuhabiskan waktu berdua bersama ibu di kamar. Seminggu penuh aku membantu ibu menyiapkan segala yang
diperlukan untuk acara tahlilan sampai tujuh hari ke depan.
Selesai
Jember, 05
Februari 2016 (04.42)
Huhuhu bikin nangis ;(
BalasHapusMasih ada typo :)