Langsung ke konten utama

Bercinta dengan Dosa



Sayang, apa kau ingat ? dua tahun yang lalu kita duduk berdua di tepi pantai ini, saat itu menjelang petang. Kau mengajakku menikmati indahnya senja. Saat itu, tempat ini begitu sepi. Tak banyak orang yang hilir mudik, hanya satu atau dua nelayan yang akan bersiap melaut lewat di belakang tempat kita duduk berdua. Kau merangkulku dengan hangat, kusandarkan kepalaku di bahumu yang kekar. Sungguh aku begitu menikmati senja itu, senja yang tak akan pernah dapat kulupakan.
Ketika hari mulai petang dan hawa dingin mulai terasa menusuk sampai ke tulang, rangkulanmu telah berubah menjadi pelukan, kau kecup bibirku dan kau cumbu aku dengan belaian kata-kata manismu. Kau selusuri setiap jengkal tubuhku, dan malam itu kau tiduri aku di tepi pantai tanpa alas seakan kau benar-benar haus akan cinta.
Sejak malam itu, kita semakin sering melakukan dosa konyol itu, seakan tanpa dosa kau terus mencumbuiku, kau lupakan status kita, kau abaikan semua yang seharusnya menciptakan larangan hubungan di antara kita.
Ibu yang sering dengan sengaja menunggu kepulangan kita berdua mulai menatap curiga, seakan dia telah berhasil membaca gerak-gerik anak gadis semata wayangnya yang mulai bertingkah. Sayang, kau tentu tahu. Saat itu aku benar-benar ketakutan, aku terus merasa berdosa sedangkan kau terus saja mengajakku bercumbu pada saat-saat yang memungkinkan ketika ibuku tak di rumah.
Lalu pada bulan berikutnya, kekhawatiranku semakin menuju titik paling mengkhawatirkan, ketika pada suatu pagi perutku terasa benar-benar mual, awalnya kupikir hanya masuk angin biasa, namun keganjalan terus terasa sampai aku ingat bahwa telah tiga minggu aku telat datang bulan. Kuhitung lagi berulang-ulang, rasanya lututku lemas menghadapi kenyataan. Aku gemetar duduk di pojok kamar sambil menangis memeluk lutut, berkali-kali kau menelponku, berkali-kali ibu mengetuk pintu kamarku. Tak sekali pun aku mau menjawab panggilan kalian. Aku takut, aku cemas.
Setelah dua hari hanya duduk dan menangis di dalam kamar, aku keluar dari kamar, berjalan menuju kamar mandi, berniat membasuh wajah dan memastikan dugaanku dengan ‘test pack’ milik ibuku yang biasanya beliau sediakan di kamar mandi keluarga. Hasilnya benar, aku positif hamil.
Waktu itu aku belum memberitahukan siapa pun. Aku menangis sejadi-jadinya di kamar mandi. Ibu yang semakin khawatir pada keadaanku terus mengetuk pintu  dan memaksaku agar segera keluar dari kamar mandi dan menceritakan apa yang telah terjadi.
Setelah beberapa jam di kamar mandi, aku keluar. Namun bukan untuk menemui ibu. Aku kembali ke dalam kamar, mencari ‘handphone’ milikku dan segera menelponmu. Kuajak kau ke tempat kita biasa melakukan percintaan, sudah kubulatkan tekadku.
Saat itu aku masih ingat, kau tiba lebih cepat sebelum aku tiba di tempat yang telah kita janjikan. Kau mulai mengeluarkan kalimat-kalimat indahmu. Namun aku hanya diam, dan tepat saat kau memelukku, kutikamkan pisau yang sedari tadi kupegang tepat di jantungmu. Di akhir kesadaranmu kau bertanya apa yang telah kulakukan.
“Aku hamil, Sayang. Aku hamil gara-gara kau. Aku benci pada kehamilan ini. Aku tak ingin ibu tahu bahwa ayah dari anak ini adalah ayah tiriku. Aku tak ingin melihat ibuku ikut hancur. Jadi akan lebih baik, jika kau mati. Hahaha, ya. Lebih baik jika kau mati di tanganku. Tidak akan ada orang yang tahu siapa ayah dari anak ini. Hahaha. Aku telah membunuhmu.” Jawabku saat itu yang tanpa kusadari kau telah tak bernyawa. Aku benar-benar telah membunuhmu, Sayang. Siang itu aku menangis tersedu-sedu sambil terus memelukmu.
...
Betapa sebenarnya aku sangat mencintaimu, Ayah tiri sekaligus kekasihku. Aku ingin kau menjadi milikku, bukan milik ibuku. Maka dari itu, kuputuskan untuk membunuhmu agar tak ada di antara aku dan ibu yang memilikimu.
Kuusap air mata yang mengalir saat mengingatmu. Sayang, terima kasih untuk kisah kita dan untuk buah hati yang telah kau tinggalkan dalam hidupku. Aku akan menjaganya dengan baik meski tanpa kau, tanpa sosok seorang ayah.

Jember, 09 Januari 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENEBUSAN LUKA

Agni sedang di dapur, memotong sayuran yang akan ia masak untuk makan malam. Memasak pada sore hari,   setelah menidurkan putrinya adalah satu-satunya kegiatan yang menyenangkan. Tenang, sembari menyelami dirinya sendiri, dan merenungkan peristiwa-peristiwa yang sering kali terjadi dalam keluarga kecilnya. Bagi Agni, memasak adalah waktu baginya untuk kembali merasakan dirinya sendiri. Tak jarang ia memasak sembari tersenyum geli mengingat tingkah lucu Dinar, tersipu malu mengingat malam yang panas dengan suaminya, atau menangis karena mengingat   scene  sedih dari film yang semalam ia tonton. Seperti sore ini, ia memasak sambil menangis, dari belakang terlihat punggungnya begitu keras bergetar, menahan agar tangisnya tak menimbulkan suara. Agni menangis, bukan lantaran mengingat   scene  sedih sebuah film. Ia menangis, sebab sudah tiga hari ini suaminya belum pulang, tanpa meninggalkan kabar atau semacamnya. Firasatnya buruk, sangat buruk. Bayangan suaminya yang menepis pelukannya di

Perempuan Tak Setia

“Terima kasih untuk kesabaranmu yang luar biasa, mendampingiku dalam 35 tahun usia pernikahan, dan 3 tahun untuk waktu saling mengenal di masa muda kita.” Bisik Ode di telinga istrinya, saat mereka sedang menikmati momen berdansa diiringi lagu klasik Lovesick Blues di ruang makan rumah mereka. Lilin di meja makan mereka tinggal setengah, lelehannya membentuk lahar yang terlihat manis sekali. Sendok garpu telah bersilang menghadap piring kosong di bawah mereka, artinya makan malam telah selesai dilakukan. Misa menjawab dengan senyum, matanya menatap hangat mata Ode, dan tangannya semakin posesif di leher suaminya. Detik berikutnya, Misa menempelkan telinga kanannya di dada Ode, menikmati detak mereka berdua yang semakin tua semakin melemah dengan tempo yang tetap sama. Misa memejamkan matanya, dia mengingat sebuah kebodohan dalam hidupnya, sebuah kejahatan yang dilakukan hatinya kepada Ode, dia menangis diam-diam malam itu. … Sepagi buta jam 2 pagi, Misa telah berisik, sebagian lam

When I Miss You

Sabtu, 02 Desember 2015 19.30 Famy, gadis cantik 20 tahun itu terlihat memasuki salah satu kedai kopi paling laris di Bandung yang menjadi saksi cintanya. Saksi susah senangnya, saksi saat cintanya dimulai dan saksi pula saat cintanya berakhir kandas dengan begitu menyedihkan dua tahun yang lalu. Pahitnya kenangan berkombinasi dengan manisnya secangkir capucino selalu menjadi teman setianya mengenang cinta yang tak mungkin dapat ia harapkan lagi. Dua tahun ternyata bukan waktu yang cukup untuk dapat membuat Famy melupakan cinta pertamanya yang bahkan telah hampir terikat sebuah tali pertunangan. Kisah cinta yang telah berjalan tiga tahun lamanya harus berakhir dengan sangat menyedihkan. Oh tidak, lebih tepatnya Famy sendiri yang merasakan kesedihan itu. Nanti pasti kau sesali keputusan dirimu meninggalkan aku Lagu Fredy yang berjudul Nanti mengalun seakan menyambut kedatangan Famy di kedai kopi tersebut. Lagu yang sekali lagi mengikatnya untuk tetap mengenang kebersama